Jumat, 20 November 2015

SEJARAH DESA KUANYAR

Mbok Nyai Emban Tokoh Pertama Babat Desa Kuanyar

                Desa Kuanyar adalah salah satu desa dari sekian desa yang mempunyai cerita tutur mengenai asal mula wilayah ini didirikan. Secara adminsitrasi Desa Kuanyar masuk dalam wilayah Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara yaitu terletak lima kilometer sebelah barat daya kota Kecamatan Mayong. Mendengar kata Mayong  tentu sebagian orang sudah tidak asing, dikarenakan di kota Mayong inilah sejarah pernah mencatat kelahiran salah seorang Pahlawan Nasionl Indonesia yang bernama Raden Ajeng Kartini yang lebih dikenal sebagai Pahlawan Emansipasi Wanita. Disebut Mayong karena konon diwilayah ini pernah dijadikan sebagai salah satu rute pelarian oleh Sultan Hadirin suami Ratu Kalinyamat pada saat terluka akibat serangan pengikut Adipati Haryo Penangsang seorang Adipati dari Kadipaten Jipang Panolan (sekarang masuk wilayah Blora). Menurut Babad Tanah Jawi Adipati Haryo Penangsang berambisi untuk membunuh Sultan Hadirin beserta istrinya (Ratu Kalinyamat-pen) dikarenakan kedua orang tersebut merupakan keluarga dekat Sunan Prawoto. Adanya ambisi tersebut diakarenakan adanya dendam yang membara di hati Adipati Haryo Penangsang akibat terjadinya sebuah peristiwa tragis yang dialami oleh keluarganya dimasa lalu. Lebih lanjut dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa konon ayah Adipati Haryo Penangsang yang bernama Pangeran Kikin (Raden Surawiyoto) dibunuh ditepi sungai seusai melaksanakan sholat jum’at oleh seseorang yang diutus oleh Raden Bagus Mukmin (nama kecil Sunan Prawoto) putra Raden Trenggono. Oleh karenanya Pangeran Kikin kemudian mendapatkan julukan Pangeran Sekar Seda Ing Lepen (Pangeran kembang yang gugur di sungai). Saat itu usia Pangeran Haryo Penangsang masih kecil sehingga kemudian diasuh oleh kakeknya yang menjadi Adipati di Kadipaten Jipang. Pembunuhan ini dipicu atas adanya perebutan tahta kesultanan Demak sepeninggal Sultan Demak II (Pangeran Sabrang Lor/Adipati Yunus/Pati Unus) yang gugur saat melakukan ekspedisi penyerangan terhadap bangsa Portugis di malaka pada abad ke-15 (tahun 1521). Dalam perebutan itu akhirnya Raden Trenggonolah yang berhasil menduduki tahta kesultanan Demak dikarenakan Raden Kikin ditemukan meninggal ditepi sungai. Raden Kikin dan Raden Trenggono adalah kakak beradik putra Sultan Demak I (Raden Fatah/Jin Bun).
Tragedi pembunuhan ini akhirnya diketahui oleh Pangeran Haryo Penangsang setelah menjadi dewasa. Pangeran Haryo Penangsang mendapatkan informasi ini dari gurunya yaitu Kanjeng Sunan Kudus. Pangeran Haryo Penangsang yang berkarakter keras dan didukung dengan kesaktian yang dimiliki setelah mendapatkan informasi tersebut merasa wajib membalaskan dendam ayahnya. Pada saat itu yang menjadi Raja di Kesultanan Demak adalah Sunan Prawoto (Raden Bagus Mukmin) putra sulung Sultan Trenggono Sultan Demak ke III yang tewas dalam ekspedisi ke Panarukan (tahun 1546). Pada masa pemerintahan Sunan Prawoto ini pusat pemerintahan Kesultanan Demak dipindahkan dari Demak Bintoro ke bukit Prawoto (sekarang masuk wilayah Sukolilo, Pati). Sunan Prawoto mempunyai dua adik perempuan yaitu Raden Ayu Retno Kencono (Ratu Kalinyamat, istri Pangeran Kalinyamat/Pangeran Hadirin yang berkuasa di Kerajaan Kalinyamat, bekas Keraton Kalinyamat diperkirakan berada di Siti Hinggil dibelakang SMA Sultan Agung Kriyan, Ka ) dan Raden Ayu Sekar Aji (istri Joko Tingkir/Sultan Hadiwijoyo). Dikarenakan dendam yang membara itulah akhirnya Pangeran Haryo Penangsang mengutus seorang soreng pati bernama Rangkut untuk membunuh Sunan Prawoto beserta keluarga dekatnya. Diceritakan bahwa pada saat soreng pati tersebut berhasil menyelinap dan masuk kedalam kamar Sultan Demak ke IV  itu dan sudah berhadapan dengan sang Sultan, sang Sultan mengakui akan kesalahannya dan rela untuk membayar hutang nyawa dengan syarat agar keluarganya tidak dilibatkan dalam kasus ini. Soreng patipun memenuhi syarat tersebut. Akhirnya soreng pati berhasil membunuh Sunan Prawoto tanpa perlawanan. Keris Kiai Setan Kober berhasil menghujam ke jantung sang Sultan hingga tembus ke belakang (punggung) namun diluar dugaan ujung keris yang tembus ke belakang itu mengenai istri sang Sultan sehingga sang istri meninggal. Melihat kondisi ini sang Sultan yang masih belum menemui ajal bangkit dengan sisa tenaga yang dimilikinya berhasil mencabut keris yang menghujam didadanya dan ditikamkan ke tubuh soreng pati tersebut hingga keduanya meninggal.
               Dari kejadian inilah yang akhirnya menimbulkan kepedihan yang mendalam di hati adik sang Sultan yaitu Raden Ayu Retno Kencono. Raden Ayu Retno Kencono bersam suaminya akhirnya menuntut keadilan atas kematian kakaknya kepada Kanjeng Sunan Kudus dikarenakan Kanjeng Sunan Kudus dianggap ikut terlibat dalam kasus itu. Hal ini dikarenakan ditemukannya keris kiai setan kober dalam peristiwa pembunuhan itu dimana keris kiai setan kober tidak lain adalah milik Kanjeng Sunan Kudus. Mendapatkan penjelasan yang mengecewakan dari Kanjeng Sunan Kudus akhirnya Raden Ayu Retno Kencono bersama sang suami pergi meninggalkan padepokan kudus pulang kembali ke Kalinyamat. Ditengah perjalanan rombongan Raden Ayu Retno Kencono dicegat oleh utusan-utusan Pangeran Haryo Penangsang. Pertarunganpun tak dapat dihindari. Dikarenakan jumlah yang tidak sepadan akhirnya banyak jatuh korban dipihak Raden Ayu Retno Kencono termasuk sang suami sendiri yaitu Sultan Hadirin. Sultan Hadirin terluka parah namun berhasil meloloskan diri dari kejaran para pengikut Pangeran Haryo Penangsang. Dengan dibantu oleh istrinya Sultan Hadirin terus berlari menuju Jepara. Peristiwa inilah yang konon kemudian menjadi nama-nama desa disepanjang rute yang dilalui oleh Sultan Hadirin, yaitu mulai dari Desa Damaran Kudus. Konon saat terluka itu penduduk sekitar sedang menghidupkan damar/lampu teplok karena waktu sudah sore sehingga daerah tersebut dinamakan Damaran. Kemudian Desa Prambatan Kudus disebelah baratnya, konon karena saking parahnya luka yang diderita oleh Sultan Hadirin sampai-sampai harus merambat/merangkak untuk berjalan, sehingga daerah tersebut dinamakan Prambatan. Kemudian disebelah barat Desa Prambatan ada desa bernama Kaliwungu Kudus, konon ditempat itu Sultan Hadirin membasuh luka disebuah sungai/kali dan air sungai berubah menjadi wungu/ungu sehingga daerah tersebut dinamakan Kaliwungu. Disebelah barat desa Kaliwungu terdapat desa bernama Desa Pringtulis Jepara, konon didaerah tersebut Sultan Hadirin menulis tetntang apa yang dialaminya itu pada sebatang bambu/pring sehingga daerah tersebut dinamakan Pringtulis. Disebelah barat Desa Pringtulis terdapat Desa Mayong Jepara, konon pada waktu sampai didaerah ini Sultan Hadirin tidak kuat menahan tubuhnya sehingga jalannya sempoyongan/moyang-moyong sehingga daerah ini dinamakan Mayong. Disebalah barat Desa Mayong terdapat Desa Purwogondo, konon didaerah tersebut Sultan Hadirin menghembuskan nafas terakhir, dari jasadnya mengeluarkan bau/gondo wangi sehingga daerah tersebut kemudian dinamakan Purwogondo. Disebelah utara Desa Purwogondo terdapat Desa Krasak, konon saat jasad Sultan Hadirin hendak dibawa ke Mantingan/pesanggrahan Sultan Hadirin, jasad Sultan Hadirin terjatuh disebuah sungai dan menyangkut disebuah jembatan bambu yang menimbulkan bunyi krasak-krasak sehingga daerah tersebut dinamakn desa krasak. Kemudian jasad Sultan Hadirin di kebumikan di Desa Mantingan Jepara.
             

Asal Usul Desa Kuanyar

                Hubungan peristiwa ini dengan asal muasal Desa Kuanyar adalah, bahwa pada saat itu Ratu Kalinyamat mempunyai pengikut setia yang selalu mendampingi Sang Ratu. Beliau adalah seorang dayang yang merawat dan mengasuh Sang Ratu sejak kecil. Karena pekerjaannya mengasuh itulah maka dayang tersebut biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Emban (artinya ibu asuh). Nama asli mbok emban adalah Nyai Safah. Hal ini berdasarkan cerita tutur dan tulisan yang terukir di pintu makam beliau. Sepeninggal Sultan Hadirin Ratu Kalinyamat memberikan penghargaan kepada Mbok Emban berupa sebuah wilayah berjarak 6 kilometer di sebelah tenggara Keraton Kalinyamat untuk ditempati. Dengan penuh ketekunan Mbok Emban bersama suaminya yang bernama Mbah Wali (tidak diketahui nama asli beliau) pindah dan membabat hutan di wilayah yang dimaksud menjadi sebuah tempat tinggal. Oleh Mbok Emban daerah tersebut kemudian dinamakan sentono/ astana raja. Dinamakan demikian karena untuk mengingat jasa Kanjeng Ratu Kalinyamat. Didaerah tersebut kemudian dibangun tempat tinggal dan pesanggrahan. Hingga akhirnya tempat tersebut dikenal sebagai pesanggrahan mbok nyai emban pada masanya. Lambat laun disekitar daerah tersebut mulai ramai didatangi oleh para pendatang yang kemudian menetap dan tinggal disekitar daerah tersebut. Kalau melihat kondisi gegrafis daerah sentono penulis berkeyakinan bahwa pesanggrahan dan tempat tinggal Mbok Emban dulunya terletak ditepi sebuah sungai dengan dikelilingi pohon pohon besar. Namun sungai tersebut kini sudah tidak terlihat jelas karena proses alam yaitu proses sendimentasi/ pendangkalan. Hal ini bisa terlihat dari topografi daerah tersebut yang posisinya lebih tinggi dibanding dengan posisi tanah di sekitar. Sampai sekitar tahun 1996  sekitar 50 meter disebelah barat makam beliau masih terlihat sebuah cekungan panjang menyerupai sebuah sungai meskipun tidak dalam dengan dikelilingi dua buah pohon besar yang berusia ratusan tahun. Sayang dua buah pohon besar yang menjadi peneduh di area makam beliau kini sudah tidak ada lagi karena tumbang dimakan usia. Hal lain yang lebih meyakinkan penulis adalah pernah ditemukannya sumber pasir di persawahan disebelah utara makam beliau. Waktu itu ayah penulis sedang menggali sumur untuk pengairan tanaman jagung di sawah tersebut, namun setelah kedalaman sekitar dua meter galian yang semula berupa tanah berubah menjadi pasir. Pasirnya berwarna coklat sebagaimana umumnya pasir sungai. Tidak hanya satu sumur yang dibuat namun ada empat sumur dan semuanya mengandung pasir. Sumur-sumur itu dibuat empat titik yang masing-masing berjarak empat meter dengan bentuk segi empat. Pasir-pasir tersebut kemudian diambil oleh ayah penulis, bahkan cukup untuk dipakai sebagai bahan bangunan. Bahkan saat itu penulispun ikut membantu ayah mengambil pasir. Dari kejadian inilah penulis yakin bahwa pesanggrahan Mbok Emban terletak ditepi sebuah sungai yang asri dan sejuk. Hal ini juga dikuatkan dengan fakta adanya kubangan air yang membentuk pola memanjang seperti aliran sungai apabila hujan deras, sewaktu ayah penulis masih kecil kubangan air bahkan terlihat lebih jelas.
                Pada perkembangannya Pesanggrahan mbok nyai emban sering dikunjungi dan oleh para musafir yang kebetulan melewati daerah tersebut sebagai tempat persingahan ataupun juga diskusi. Salah seorang yang sering singgah ke pesanggrahan beliau adalah seorang ulama yang berasal dari Singaraja Bali bernama Datuk Ida Gurnandi. Mbah Datuk Singorojo begitu sekarang masyarakat meyebut, adalah seorang dai keliling. Beliau menetap disebuah desa berjarak kurang lebih 8 kilometer atau empat kilometer kearah timur laut Pasar Mayong yang diberi nama seperti daerah asalanya yaitu Singorojo. Mbah Datuk sering singgah ke pesanggrahan Mbok Emban apabila sedang melakukan dakwah keliling ke wilayah-wilayah di jepara. Menurut cerita, kebiasaan Mbah Datuk saat singgah disuatu tempat adalah ditanamnya pohon aren didaerah tersebut. Dengan demikian setiap melakukan perjalanan Mbah Datuk selalu membawa buah aren (kolang-kaling). Cerita ini memang ada benarnya karena sampai akhir tahun 1980-an di sekitar makam mbok emban masih ditemui banyak pohon aren meskipun sekarang sudah tidak ada satupun yang tinggal. Ditempat tersebut konon juga didirikan sebuah Masjid. Namun sayang Masjid tersebut ternyata tidak pernah digunakan sembahyang secara berjamah oleh masyarakat sekitar setono. Hingga akhirnya mbah wali (suami mbok emban) menendang bedug masjid (alat untuk memanggil orang untuk pergi ke masjid) sehingga terlempar sejauh tiga ratus meter kearah tenggara masjid dan entah kenapa kemudian masjid itu kemudian terbakar. Bekas reruntuhan batu bata masjid tersebut saat ini masih bisa disaksikan meskipun kondisi batu batanya sudah tidak utuh lagi. Ditendangnya bedug masjid tersebut mengandung maksud sebagai symbol bahwa untuk apa ada bedug kalau masyarakat tidak pernah mau mendengarkan/ datang ke masjid untuk sembahyang (tempat berhentinya bedug tersebut dua ratus  delapan puluh tahun kemudian, yaitu sekitar tahun 1880-an dibangunlah masjid baru berdasarkan penafsiran KH Hasan Janamin seorang ulama dan guru sufi yang bermukim didekat tempat tersebut. Masjid tersebut kemudian dikenal sebagai Masjid Kauman atau Masjid Baitul Mujtahidin Kuanyar). Pada tahun 1600-an Mbok Emban dan Mbah Wali meninggal dan beliau berdua dimakamkan didekat pesanggrahan milik mereka berdua.
                Setelah era mbok emban kemudian muncul tokoh-tokoh lain yang mendiami tempat-tempat di sekitar setono. Tokoh-tokoh tersebut adalah Mbah Kresek, Mbah Sastro Mulyono, Mbah Sugeng, Raden Suryo, Mbah Cokroamijoyo, Mbah Suradi dan Mbok Dodol. Daerah mereka tinggal kemudian menjadi pedukuhan. Dukuh-dukuh tersebut adalah Sebatang (Mbah Kresek), Gedang Gepeng (Mbah Sastro Mulyono), Mbondoyo (Mbah Sugeng), Ngalasan Timur (Raden Suryo), Ngalasan Barat (Mbah Sastroamijoyo), Kranggan (Mbah Suradi), dan Babadan (Mbok Dodol). Mbah Kresek adalah yang mula-mula memberikan nama Kuanyar dari ungkapan Bumiku Anyar yang kemudian berubah menjadi Kuanyar. Karena beliau yang memberi nama desa kemudian beliau disebut sebagai Mbah Lurah. Untuk Setono sendiri kemudian menjadi bagian dari pedukuhan Kauman dikarenakan kemudian didaerah ini sebagai pusat penyiaran Agama Islam di Desa Kuanyar. Adapun pmerintahan Desa Kuanyar secara administrative setelah era Mbah Lurah (Mbah Kresek) adalah; Banis (1837-1840), Yahya (1840-1865), Ropingi (1880-1905), Wirongangsi (1905-1922), H. Glempo (1922), H. Sulaiman (1922-1945), Maskat (1945-1975), Abu Kholil (1975-1986), Ubeid Zubaidi (1986-1996), Abdul Qodir (1996-2003), Ubeid Zubaidi (2003-2013), dan Abdu Harisman (2013-2019).
                   Sebagai seorang tokoh yang telah berjasa dalam membuka Desa Kuanyar dan mensiarkan Agama Islam  untuk yang kali pertama tentu sangatlah wajar apabila generasi sekarang menghargai dan menghormati jasa beliau, karena bagaimanapun juga Mbok Nyai Emban dan keluarganya adalah pelopor atau lazim disebut Danyang. Namun kenyataannya sekarang sangat memprihatinkan. Satu satunya peninggalan beliau yang tak lain adalah makam beliau sendiri terkesan tak terawat. Bangunan yang menaungi makam beliau dan keluarga serta pengikutnyapun tak ubahnya seperti bangunan reot yang mau roboh. Kumuh, kotor dan berantakan. Begitu juga pemakaman disekitar makam beliau juga terkesan tak terawat tidak ada pagar keliling dan banyak makam yang sudah rusak. Batu nisan juga sudah banyak yang hilang. Terkesan kering dan gersang. Hal ini tentu membutuhkan perhatian khusus dari warga desa khususnya Pemerintah Desa Kuanyar. Pembangunan dan pemugaran yang memadai serta pengelolaan yang baik tentu harus menjadi program yang diprioritaskan.Selain itu juga perlu disusun sebuah buku tentang riwayat beliau oleh pemerintah esa dan tokoh tokoh agama dengan mencari berbagai sumber agar setiap generasi dapat mengetahuinya  Pembangunan makam ini tentunya bukan bermaksud untuk mengkultuskan beliau, namun lebih pada perawatan dan pemeliharaan sebuah situs sejarah dari proses panjang lahirnya sebuah desa. Dengan demikian makam tersebut bisa menjadi wisata sejarah bagi masyarakat desa terlebih generasi muda dan generasi yang akan datang agar mengetahui bagaimana desa mereka didirikan. . Tentu hal itu bukanlah hal buruk. Adapaun adanya kekhawatiran akan adanya praktek yang tidak baik itu kembali kepada keimanan masing masing. Selama pengelola bisa menjaga hal hal yang tidak baik serta praktek praktek yang menyimpang tentu hal semacam itu tak perlu dikhawatirkan. Negara yang besar adalah Negara yang warga negaranya menghargai para founding father dan pahlawannya dan desa yang besar adalah desa yang mau menghargai pendiri desanya. Karena bagaimanapun juga adanya kita dan eksistensi kita saat ini adalah hasil dari sebuah proses sejarah yang panjang maka tidak sepatutnya kita memutus rantai sejarah dengan tidak melestarikan peninggalan sejarah yang ada. Semoga Desa Kuanyar menjadi desa yang damai, ramah, mau menghormati dang menghargai leluhur dan yang terpenting tidak kehilangan jati dirinya dan jangan sampai termasuk dalam dalam peribahasa kacang lupa pada kulitnya.

Daftar Pustaka:
1.       Syam, Nur. 2013. Tarekat Petani. Yogyakarta: LKiS.
2.       Akasah, Hamid. 2006. Menelusuri Lokasi Bekas Keraton Demak. Tidak mencantumkan tempat: CV. Cipta Adi Grafika.
3.       Akasah, Hamid. Tidak mencantumkan tahun. Arya Penangsang Perebutan Takhta Kesultanan Demak. Tidak mencantumkan tempat: CV. Cipta Adi Grafika.

Disarikan dari ariyasinawa.blogspot.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar