. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ , الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَن وَالَاهُ Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: يُبْعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ "Setiap hamba akan dibangkitkan berdasarkan keadaan dia meninggal" (HR Muslim no 2878) Berkata Al-Munaawi, أَيْ يَمُوْتُ عَلَى مَا عَاشَ عَلَيْهِ وَيُبْعَثُ عَلَى ذَلِكَ "yaitu ia meninggal di atas kehidupan yang biasa dia jalani dan dia akan dibangkitkan di atas hal itu" (At-Taisiir bi Syarh Al-Jaami' As-Shogiir 2/859) Penjelasan : Wahai sahabat-sahabatku yang dikasihi sekalian!, semoga Allah merahmatiku dan juga kalian, semoga kita sentiasa dalam bimbingan taufik dan hidayah Allah, semoga kita semua beroleh kesudahan yang baik sebagaimana dalam kehidupan kita ini, kita sentiasa mengharapkan yang terbaik. . Imam al-Ghazali ada menyatakan : “ teman yang paling akrab dan tidak pernah meninggalkan kita ialah kematian” . Kematian datang secara tiba-tiba. Kita selalu melupainya, tetapi mati tidak pernah melupai kita. Ia tidak peduli dengan hal keadaan kita. Apakah kita dalam taat atau maksiat…, apakah dalam keadaan sakit atau sehat… apabila telah sampai ketentuan Allah kematian tidak akan ditangguh-tangguh lagi… semuanya berlaku secara tiba-tiba… Sudah pasti setiap orang dari kita berharap dianugrahkan husnul khotimah.. ajal menjemput tatkala sedang beribadah kepada Allah, ketika bertaubat kepada Allah.. sedang solat dan doa ..sedang ingat kepada Allah.. namun hakikatnya berapa ramai orang yang mengharapkan husnul khotimah beroleh kesudahan yang sebaliknya…. Suul khootimah… maut menjemputnya tatkala dia sedang bermaksiat kepada Allah … Su’ul Khatimah Secara bahasa, Su’ul Khatimah artinya adalah : “Akhir yang tidak baik”. . Faktor yang menyebabkan “ketidak-baikkan” pada saat kematian bisa beragam, yang paling buruk ialah kematian yang tidak disertai dengan membawa iman kepada Allah SWT, disebut juga mati Kufur (Na’udzu billah). . al-Imam Ghozali menjelaskan, ada dua model Su’ul Khatimah, sbb: 1. Pada saat Sakaratul Maut, hatinya dalam keadaan tak beriman, sehingga ruhnya dicabut dalam keadaan tak membawa iman, keadaan ini menyebabkan ia terhalang dari Allah SWT untuk selama-lamanya, dan menjadikannya kekal di Neraka (Na’udzu billah). 2. Pada saat ajal menjemput, hati dan perasaan terisi dengan urusan-urusan duniawi, yang terbayang hanya dunia dan urusan materi (tidak teringat Allah SWT), sehingga pada saat ruhnya dicabut, hatinya hanya tertuju kepada urusan duniawi. Dan selama hatinya berpaling dari Allah SWT berarti ada penghalang antaranya dgn Tuhannya, dan selama ada penghalang maka siksa Allah Azza wa Jalla akan diturunkan, karena siksa Allah SWT hanya diturunkan kepada mereka yang terhalang dari-Nya. . Selanjutnya al-Imam Ghozali berkata: “Jika demikian keadaannya, sungguh sangat mengkhawatirkan, karena seseorang akan mati sesuai dgn kebiasaannya sehari-hari, dan setelah mati sudah tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaikinya.” . Dengan begitu nasibnya akan sangat rugi besar. Jika demikian, tergantung dari kadar imannya, apabila masih tersisa iman di hatinya, meskipun sedikit maka ia akan dikeluarkan dari Neraka. Semakin sedikit iman yang dibawa, semakin lama pula menjadi penghuni Neraka (Na’udzu billah). . Menurut penjelasan para Ulama’ pada saat-saat menjelang kematian adalah ujian yang terberat dalam memepertahankan keimanan, syetan-syetan pada saat itu dengan amat gigihnya berusaha dengan semua cara membujuk dan merayu agar mati dengan tanpa membawa iman, sehingga diharapkan akan menjadi penghuni Neraka bersamanya. . Oleh karenanya disunnahkan menuntun orang yang sedang Sakaratul Maut untuk membaca kalimat “LA ILAHA ILLALLAH”. Dalam Hadits dinyatakan, “Tuntunlah orang yang akan meninggal dengan kalimat LA ILAHA ILLALLAH”. (H.R. Muslim) Dalam Hadits lain, “Barang siapa yang akhir ucapannya kalimat LA ILAHA ILLALLAH maka akan masuk surga”. (H.R. Ahmad) . Kemudian para Ulama’ menjelaskan, “Ada beberapa perbuatan yang berpeluang menyebabkan Su’ul Khatimah, seperti membenci atau memusuhi para Wali Allah meskipun yang sudah wafat, riba, merampas hak anak yatim, meremehkan kewajiban Sholat, durhaka pada orang tua, minum khamr, menyakiti sesama Muslim, tidak menjawab seruan Adzan dan lain-lain. Lihat: Ihya’ Ulum al-Din juz IV hal. 126 – 127 Tuhfatu al-Habib juz II hal. 48 . Peringatan penting.. Mana mungkin seseorang itu beroleh husnul khotimah sedangkan hari-harinya dia penuhi dengan melakukan maksiat kepada Allah… hari-harinya dia penuhi tanpa menjaga pendengarannya… pandangannya.. hati yang hasad .. pemikiran yang lucah.. perilaku yang khianat… lisannya jauh dari berzikir dan mengingat Allah… Ingatlah wahai saudara-saudaraku sekalian , semoga Allah merahmatiku dan kalian semua… sesungguhnya seseorang akan dicabut nyawanya berdasarkan kehidupan yang biasa dia lalui setiap hari… Kita pernah dengar cerita penjinak ular meninggal akibat di patuk ular..bahkan suatu ketika dulu pernah seorang penyanyi meninggal ketika buat persembahan ... dan sebagai nya lagi. Telitilah kisah-kisah yang disebutkan oleh para ulama agar kita juga membiasakan diri kita beramal sholeh sehingga tatkala maut menjemput kita pun dalam keadaan beramal sholeh : Kisah Abu Bakr bin 'Ayyaasy (193 H) seorang ulama al-Qurrak : لما حضرت أبا بكر بن عَيَّاش الوفاةُ بَكَتْ أُخْتُهُ فقال : لاَ تَبْكِ اُنْظُرِي إِلىَ تِلْكَ الزَّاوِيَةِ الَّتِي فِي الْبَيْتِ قَدْ خَتَمَ أَخُوْكَ فِي هَذِهِ الزَّاوِيَةِ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ أَلَف خَتْمَة Tatkala kematian mendatangi Abu Bakr bin 'Ayaasy maka saudara perempuannya pun menangis. Maka Abu Bakr pun berkata kepadanya, "Janganlah menangis, lihatlah di anjung rumah ini, sesungguhnya saudara lelakimu ini telah mengkhatamkan Al-Quran di situ sebanyak 18 ribu kali" (Lihat Hilyatul Auliyaa' karya Abu Nu'aim 8/304 dan Taariikh Baghdaad 14/383) Demikianlah sahabat-sahabat sekalian Abu Bakr bin 'Ayyaasy telah mengkhatamkan Al-Qur'an sebanyak 18 ribu kali…..semuanya demi menghadapi waktu yang sangat kritis ini… waktu untuk meninggalkan dunia ke alam akhirat yang abadi…. Kisah Khalifah Al-Ma'muun, Ketika sakaratul maut mendatanginya diapun memanggil para tabib di sekelilingnya berharap agar boleh menyembuhkan penyakitanya. Tatkala dia merasa berat sakitnya itu, maka dia berkata, "Keluarkanlah aku agar aku melihat angkatan perangku dan aku melihat anak buahku serta aku menyaksikan kekuasaanku", ketika itu hari malam . Maka Khalifah Al-Makmuun pun dibawa keluar melihat kemah-kemah serta angkatan perangnya yang sangat ramai bertebaran di hadapannya, dan dinyalakan api. (Tatkala melihat semua itu ) dia pun berkata, يَا مَنْ لاَ يَزُوْلُ مُلْكُهُ اِرْحَمْ مَنْ قَدْ زَالَ مُلْكُهُ “Wahai Dzat yang tidak akan pernah musnah kerajaannya… Sayangilah orang yang telah hilang kerajaannya…". Lalu diapun pengsan. Kemudian datanglah seseorang disampingnya hendak mentalqinkan kalimat syahadah, lalu Khalifah Al-Makmuun membuka kedua matanya tatkala itu dalam keadaan wajahnya yang merah dan berat, Dia berusaha untuk berbicara akan tetapi tidak mampu. Lalu dia pun memandang ke arah langit dan kedua matanya dipenuhi dengan tangisan maka lisannya pun mengungkapkan kata , يَا مَنْ لاَ يَمُوْتُ اِرْحَمْ مَنْ يَمُوْتُ "Wahai Dzat Yang tidak akan mati rahmatilah hambaMu yang mati", lalu diapun meninggal dunia. (Lihat Muruuj Adz-Dzahab wa Ma'aadin Al-Jauhar karya Al-Mas'uudi 2/56 dan Taariik Al-Islaam karya Adz-Dzahabi 15/239) . Begitu juga seorang qari yg terkenal di mesir fazilatus Syekh Mustofa Ismail meninggal dunia ketika sedang membaca al-Quran. Allah Yang Maha Mulia telah menentukan sunnatullah kepada kita, bahwasanya: “Orang yang hidup di atas sesuatu kebiasaan akan mati di atas kebiasaan tersebut, dan kelak dia akan dibangkitkan juga dengan cara hidupnya itu” Kesimpulan : Siapkanlah dirimu menyambut tetamu yang akan mendatangimu secara tiba-tiba…datangnya tidak diduga, tibanya sudah semestinya.. jangan sampai tetamu tersebut menemuimu dalam dalam keadaan engkau sedang melakukan maksiat kepada Allah. Ya Allah , hidupkanlah kami dengan iman dan matikanlah kami dengan iman, suburkanlah ruh ibadah kami sehingga kami kembali kepada-Mu dalam ketaatan dan ibadah… Aamiin وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ, والْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Senin, 30 November 2015
SESEORANG AKAN MENINGGAL MENURUT KEBIASAANNYA
Kisah Nyata: Akhir hayat penggemar musik dan pencinta Al-Qur'an....
>>> ......Dan aku… sungguh seakan-akan sedang menghadapi hari pertamaku di dunia. Aku benar-benar bertaubat dari kebiasaan burukku. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosaku di masa lalu dan meneguhkanku untuk tetap mentaatinya, memberiku kesudahan hidup yang baik (khusnul khatimah) serta menjadikan kuburanku dan kuburan kaum muslimin sebagai taman-taman Surga. Amin…(Azzamul Qaadim, hal 36-42)....>>>
Kisah Nyata: Akhir hayat penggemar musik dan pencinta Al-Qur'an Saif Al Battar
Tatkala masih di bangku sekolah, aku hidup bersama kedua orangtuaku dalam lingkungan yang baik. Aku selalu mendengar do’a ibuku saat pulang dari keluyuran dan begadang malam. Demikian pula ayahku, ia selalu dalam shalatnya yang panjang. Aku heran, mengapa ayah shalat begitu lama, apalagi jika saat musim dingin yang menyengat tulang. Aku sungguh heran. Bahkan hingga aku berkata kepada diri sendiri: “Alangkah sabarnya mereka…setiap hari begitu…benar-benar mengherankan!” Aku belum tahu bahwa di situlah kebahagiaan orang mukmin, dan itulah shalat orang-orang pilihan…Mereka bangkit dari tempat tidumya untuk bermunajat kepada Allah.Setelah menjalani pendidikan militer, aku tumbuh sebagai pemuda yang matang. Tetapi diriku semakin jauh dari Allah. Padahal berbagai nasihat selalu kuterima dan kudengar dari waktu ke waktu.
Setelah tamat dari pendidikan, aku ditugaskan ke kota yang jauh dari kotaku. Perkenalanku dengan teman-teman sekerja membuatku agak ringan menanggung beban sebagai orang terasing. Di sana, aku tak mendengar lagi suara bacaan Al-Qur’an. Tak ada lagi suara ibu yang membangunkan dan menyuruhku shalat. Aku benar-benar hidup sendirian, jauh dari lingkungan keluarga yang dulu kami nikmati. Aku ditugaskan mengatur lalu lintas di sebuah jalan tol. Di samping menjaga keamanan jalan, tugasku membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan. Pekejaan baruku sungguh menyenangkan. Aku lakukan tugas-tugasku dengan semangat dan dedikasi tinggi. Tetapi, hidupku bagai selalu diombang-ambingkan ombak. Aku bingung dan sering melamun sendirian…banyak waktu luang…pengetahuanku terbatas. Aku mulai jenuh…tak ada yang menuntunku di bidang agama. Aku sebatang kara. Hampir tiap hari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan orang-orang yang mengadu kecopetan atau bentuk-bentult penganiayaan lain. Aku bosan dengan rutinitas. Sampai suatu hari terjadilah suatu peristiwa yang hingga kini tak pernah kulupakan.
Ketika itu, kami dengan seorang kawan sedang bertugas di sebuah pos jalan. Kami asyik ngobrol…tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara benturan yang amat keras. Kami mengalihkan pandangan. Ternyata, sebuah mobil bertabrakan dengan mobil lain yang meluncur dari arah berlawanan. Kami segera berlari menuju tempat kejadian untuk menolong korban. Kejadian yang sungguh tragis. Kami lihat dua awak salah satu mobil daIam kondisi sangat kritis. Keduanya segera kami keluarkan dari mobil lalu kami bujurkan di tanah. Kami cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata pengemudinya telah tewas dengan amat mengerikan. Kami kembali lagi kepada dua orang yang berada dalam kondisi koma. Temanku menuntun mereka mengucapkan kalimat syahadat. Ucapkanlah “Laailaaha Illallaah…Laailaaha Illallaah…” perintah temanku. Tetapi sungguh mengherankan, dari mulutnya malah meluncur lagu-lagu.
Keadaan itu membuatku merinding.Temanku tampaknya sudah biasa menghadapi orang-orang yang sekarat…Kembali ia menuntun korban itu membaca syahadat. Aku diam membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan nanar. Seumur hidupku, aku belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi dengan kondisi seperti ini. Temanku terus menuntun keduanya mengulang-ulang bacaan syahadat. Tetapi… keduanya tetap terus saja melantunkan lagu. Tak ada gunanya… Suara lagunya semakin melemah…lemah dan lemah sekali. Orang pertama diam, tak bersuara lagi, disusul orang kedua. Tak ada gerak… keduanya telah meninggal dunia. Kami segera membawa mereka ke dalam mobil.
Temanku menunduk, ia tak berbicara sepatah pun. Selama pejalanan hanya ada kebisuan, hening. Kesunyian pecah ketika temanku memulai bicara. Ia berbicara tentang hakikat kematian dan su’ul khatimah (kesudahan yang buruk). Ia berkata: “Manusia akan mengakhiri hidupnya dengan baik atau buruk. Kesudahan hidup itu biasanya pertanda dari apa yang dilakukan olehnya selama di dunia”. Ia bercerita panjang lebar padaku tentang berbagai kisah yang diriwayatkan dalam buku-buku Islam. Ia juga berbicara bagaimana seseorang akan mengakhiri hidupnya sesuai dengan masa lalunya secara lahir batin. Perjalanan ke rumah sakit terasa singkat oleh pembicaraan kami tentang kematian. Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya tatkala ingat bahwa kami sedang membawa mayat. Tiba-tiba aku menjadi takut mati.
Peristiwa ini benar-benar memberi pelajaran berharga bagiku. Hari itu, aku shalat kusyu’ sekali. Tetapi perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa itu. Aku kembali pada kebiasaanku semula…Aku seperti tak pemah menyaksikan apa yang menimpa dua orang yang tak kukenal beberapa waktu lalu. Tetapi sejak saat itu, aku memang benar-benar menjadi benci kepada yang namanya lagu-lagu. Aku tak mau tenggelam menikmatinya seperti sedia kala. Mungkin itu ada kaitannya dengan lagu yang pemah kudengar dari dua orang yang sedang sekarat dahulu.
Setelah tamat dari pendidikan, aku ditugaskan ke kota yang jauh dari kotaku. Perkenalanku dengan teman-teman sekerja membuatku agak ringan menanggung beban sebagai orang terasing. Di sana, aku tak mendengar lagi suara bacaan Al-Qur’an. Tak ada lagi suara ibu yang membangunkan dan menyuruhku shalat. Aku benar-benar hidup sendirian, jauh dari lingkungan keluarga yang dulu kami nikmati. Aku ditugaskan mengatur lalu lintas di sebuah jalan tol. Di samping menjaga keamanan jalan, tugasku membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan. Pekejaan baruku sungguh menyenangkan. Aku lakukan tugas-tugasku dengan semangat dan dedikasi tinggi. Tetapi, hidupku bagai selalu diombang-ambingkan ombak. Aku bingung dan sering melamun sendirian…banyak waktu luang…pengetahuanku terbatas. Aku mulai jenuh…tak ada yang menuntunku di bidang agama. Aku sebatang kara. Hampir tiap hari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan orang-orang yang mengadu kecopetan atau bentuk-bentult penganiayaan lain. Aku bosan dengan rutinitas. Sampai suatu hari terjadilah suatu peristiwa yang hingga kini tak pernah kulupakan.
Ketika itu, kami dengan seorang kawan sedang bertugas di sebuah pos jalan. Kami asyik ngobrol…tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara benturan yang amat keras. Kami mengalihkan pandangan. Ternyata, sebuah mobil bertabrakan dengan mobil lain yang meluncur dari arah berlawanan. Kami segera berlari menuju tempat kejadian untuk menolong korban. Kejadian yang sungguh tragis. Kami lihat dua awak salah satu mobil daIam kondisi sangat kritis. Keduanya segera kami keluarkan dari mobil lalu kami bujurkan di tanah. Kami cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata pengemudinya telah tewas dengan amat mengerikan. Kami kembali lagi kepada dua orang yang berada dalam kondisi koma. Temanku menuntun mereka mengucapkan kalimat syahadat. Ucapkanlah “Laailaaha Illallaah…Laailaaha Illallaah…” perintah temanku. Tetapi sungguh mengherankan, dari mulutnya malah meluncur lagu-lagu.
Keadaan itu membuatku merinding.Temanku tampaknya sudah biasa menghadapi orang-orang yang sekarat…Kembali ia menuntun korban itu membaca syahadat. Aku diam membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan nanar. Seumur hidupku, aku belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi dengan kondisi seperti ini. Temanku terus menuntun keduanya mengulang-ulang bacaan syahadat. Tetapi… keduanya tetap terus saja melantunkan lagu. Tak ada gunanya… Suara lagunya semakin melemah…lemah dan lemah sekali. Orang pertama diam, tak bersuara lagi, disusul orang kedua. Tak ada gerak… keduanya telah meninggal dunia. Kami segera membawa mereka ke dalam mobil.
Temanku menunduk, ia tak berbicara sepatah pun. Selama pejalanan hanya ada kebisuan, hening. Kesunyian pecah ketika temanku memulai bicara. Ia berbicara tentang hakikat kematian dan su’ul khatimah (kesudahan yang buruk). Ia berkata: “Manusia akan mengakhiri hidupnya dengan baik atau buruk. Kesudahan hidup itu biasanya pertanda dari apa yang dilakukan olehnya selama di dunia”. Ia bercerita panjang lebar padaku tentang berbagai kisah yang diriwayatkan dalam buku-buku Islam. Ia juga berbicara bagaimana seseorang akan mengakhiri hidupnya sesuai dengan masa lalunya secara lahir batin. Perjalanan ke rumah sakit terasa singkat oleh pembicaraan kami tentang kematian. Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya tatkala ingat bahwa kami sedang membawa mayat. Tiba-tiba aku menjadi takut mati.
Peristiwa ini benar-benar memberi pelajaran berharga bagiku. Hari itu, aku shalat kusyu’ sekali. Tetapi perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa itu. Aku kembali pada kebiasaanku semula…Aku seperti tak pemah menyaksikan apa yang menimpa dua orang yang tak kukenal beberapa waktu lalu. Tetapi sejak saat itu, aku memang benar-benar menjadi benci kepada yang namanya lagu-lagu. Aku tak mau tenggelam menikmatinya seperti sedia kala. Mungkin itu ada kaitannya dengan lagu yang pemah kudengar dari dua orang yang sedang sekarat dahulu.
*Kejadian Yang Menakjubkan… Selang enam bulan dari peristiwa mengerikan itu…sebuah kejadian menakjubkan kembali terjadi di depan mataku. Seseorang mengendarai mobilnya dengan pelan, tetapi tiba-tiba mobilnya mogok di sebuah terowongan menuju kota. Ia turun dari mobilnya untuk mengganti ban yang kempes. Ketika ia berdiri di belakang mobil untuk menurunkan ban serep, tiba-tiba sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya dari arah belakang. Lelaki itu pun langsung tersungkur seketika. Aku dengan seorang kawan, -bukan yang menemaniku pada peristiwa yang pertama- cepat-cepat menuju tempat kejadian.
Dia kami bawa dengan mobil dan segera pula kami menghubungi rumah sakit agar langsung mendapat penanganan. Dia masih muda, dari tampangnya, ia kelihatan seorang yang ta’at menjalankan perintah agama. Ketika mengangkatnya ke mobil, kami berdua cukup panik, sehingga tak sempat memperhatikan kalau ia menggumamkan sesuatu. Ketika kami membujurkannya di dalam mobil, kami baru bisa membedakan suara yang keluar dari mulutnya. Ia melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an…dengan suara amat lemah. “Subhanallah! ” dalam kondisi kritis seperti , ia masih sempat melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran? Darah mengguyur seluruh pakaiannya; tulang-tulangnya patah, bahkan ia hampir mati. Dalam kondisi seperti itu, ia terus melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan suaranya yang merdu. Selama hidup aku tak pernah mendengar suara bacaan Al Quran seindah itu.
Dalam batin aku bergumam sendirian:"Aku akan menuntun membaca syahadat sebagaimana yang dilakukan oleh temanku terdahulu… apalagi aku Sudah punya pengalaman,” aku meyakinkan diriku sendiri. Aku dan kawanku seperti kena hipnotis mendengarkan suara bacaan Al-Qur’an yang merdu itu. Sekonyong-konyong tubuhku merinding menjalar dan menyelusup ke setiap rongga. Tiba-tiba suara itu berhenti. Aku menoleh ke belakang. Kusaksikan dia mengacungkan jari telunjuknya lalu bersyahadat. Kepalanya terkulai, aku melompat ke belakang. Kupegang tangannya, detak jantungnya nafasnya, tidak ada yang terasa. Dia telah meninggal dunia. Aku lalu memandanginya lekat-lekat, air mataku menetes, kusembunyikan tangisku, takut diketahui kawanku. Kukabarkan kepada kawanku kalau pemuda itu telah wafat. Kawanku tak kuasa menahan tangisnya. Demikian pula halnya dengan diriku. Aku terus menangis, air mataku deras mengalir. Suasana dalam mobil betul-betul sangat mengharukan.
Sampai di rumah sakit… Kepada orang-orang di sanal kami mengabarkan perihal kematian pemuda itu dan peristiwa menjelang kematiannya yang menakjubkan. Banyak orang yang terpengaruh dengan kisah kami, sehingga tak sedikit yang meneteskan air mata. Salah seorang dari mereka, demi mendengar kisahnya, segera menghampiri jenazah dan mencium keningnya. Semua orang yang hadir memutuskan untuk tidak beranjak sebelum mengetahui secara pasti kapan jenazah akan dishalatkan. Mereka ingin memberi penghormatan terakhir kepada jenazah, semua ingin ikut menyalatinya. Salah seorang petugas tumah sakit menghubungi rumah almarhum. Kami ikut mengantarkan jenazah hingga ke rumah keluarganya.
Salah seorang saudaranya mengisahkan ketika kecelakaan, sebetulnya almarhum hendak menjenguk neneknya di desa. Pekerjaan itu rutin ia lakukan setiap hari Senin. Di sana, almarhum juga menyantuni para janda, anak yatim dan orang-orang miskin. Ketika tejadi kecelakaan, mobilnya penuh dengan beras, gula, buah-buahan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Ia juga tak lupa membawa buku-buku agama dan kaset-kaset pengajian. Semua itu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang ia santuni. Bahkan ia juga membawa permen untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak kecil. Bila ada yang mengeluhkan-padanya tentang kejenuhan dalam pejalanan, ia menjawab dengan halus. “Justru saya memanfaatkan waktu perjalananku dengan menghafal dan mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an, juga dengan mendengarkan kaset-kaset pengajian, aku mengharap ridha Allah pada setiap langkah kaki yang aku ayunkan,” kata almarhum. Aku ikut menyalati jenazah dan mengantarnya sampai ke kuburan.
Dalam liang lahat yang sempit, almarhum dikebumikan. Wajahnya dihadapkan ke kiblat. “Dengan nama Allah dan atas ngama Rasulullah”. Pelan-pelan, kami menimbuninya dengan tanah…Mintalah kepada Allah keteguhan hati saudaramu, sesungguhnya dia akan ditanya… Almarhum menghadapi hari pertamanya dari hari-hari akhirat… Dan aku… sungguh seakan-akan sedang menghadapi hari pertamaku di dunia. Aku benar-benar bertaubat dari kebiasaan burukku. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosaku di masa lalu dan meneguhkanku untuk tetap mentaatinya, memberiku kesudahan hidup yang baik (khusnul khatimah) serta menjadikan kuburanku dan kuburan kaum muslimin sebagai taman-taman Surga. Amin…(Azzamul Qaadim, hal 36-42) Seorang akan mati di atas kebiasaannya…
Dia kami bawa dengan mobil dan segera pula kami menghubungi rumah sakit agar langsung mendapat penanganan. Dia masih muda, dari tampangnya, ia kelihatan seorang yang ta’at menjalankan perintah agama. Ketika mengangkatnya ke mobil, kami berdua cukup panik, sehingga tak sempat memperhatikan kalau ia menggumamkan sesuatu. Ketika kami membujurkannya di dalam mobil, kami baru bisa membedakan suara yang keluar dari mulutnya. Ia melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an…dengan suara amat lemah. “Subhanallah! ” dalam kondisi kritis seperti , ia masih sempat melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran? Darah mengguyur seluruh pakaiannya; tulang-tulangnya patah, bahkan ia hampir mati. Dalam kondisi seperti itu, ia terus melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan suaranya yang merdu. Selama hidup aku tak pernah mendengar suara bacaan Al Quran seindah itu.
Dalam batin aku bergumam sendirian:"Aku akan menuntun membaca syahadat sebagaimana yang dilakukan oleh temanku terdahulu… apalagi aku Sudah punya pengalaman,” aku meyakinkan diriku sendiri. Aku dan kawanku seperti kena hipnotis mendengarkan suara bacaan Al-Qur’an yang merdu itu. Sekonyong-konyong tubuhku merinding menjalar dan menyelusup ke setiap rongga. Tiba-tiba suara itu berhenti. Aku menoleh ke belakang. Kusaksikan dia mengacungkan jari telunjuknya lalu bersyahadat. Kepalanya terkulai, aku melompat ke belakang. Kupegang tangannya, detak jantungnya nafasnya, tidak ada yang terasa. Dia telah meninggal dunia. Aku lalu memandanginya lekat-lekat, air mataku menetes, kusembunyikan tangisku, takut diketahui kawanku. Kukabarkan kepada kawanku kalau pemuda itu telah wafat. Kawanku tak kuasa menahan tangisnya. Demikian pula halnya dengan diriku. Aku terus menangis, air mataku deras mengalir. Suasana dalam mobil betul-betul sangat mengharukan.
Sampai di rumah sakit… Kepada orang-orang di sanal kami mengabarkan perihal kematian pemuda itu dan peristiwa menjelang kematiannya yang menakjubkan. Banyak orang yang terpengaruh dengan kisah kami, sehingga tak sedikit yang meneteskan air mata. Salah seorang dari mereka, demi mendengar kisahnya, segera menghampiri jenazah dan mencium keningnya. Semua orang yang hadir memutuskan untuk tidak beranjak sebelum mengetahui secara pasti kapan jenazah akan dishalatkan. Mereka ingin memberi penghormatan terakhir kepada jenazah, semua ingin ikut menyalatinya. Salah seorang petugas tumah sakit menghubungi rumah almarhum. Kami ikut mengantarkan jenazah hingga ke rumah keluarganya.
Salah seorang saudaranya mengisahkan ketika kecelakaan, sebetulnya almarhum hendak menjenguk neneknya di desa. Pekerjaan itu rutin ia lakukan setiap hari Senin. Di sana, almarhum juga menyantuni para janda, anak yatim dan orang-orang miskin. Ketika tejadi kecelakaan, mobilnya penuh dengan beras, gula, buah-buahan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Ia juga tak lupa membawa buku-buku agama dan kaset-kaset pengajian. Semua itu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang ia santuni. Bahkan ia juga membawa permen untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak kecil. Bila ada yang mengeluhkan-padanya tentang kejenuhan dalam pejalanan, ia menjawab dengan halus. “Justru saya memanfaatkan waktu perjalananku dengan menghafal dan mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an, juga dengan mendengarkan kaset-kaset pengajian, aku mengharap ridha Allah pada setiap langkah kaki yang aku ayunkan,” kata almarhum. Aku ikut menyalati jenazah dan mengantarnya sampai ke kuburan.
Dalam liang lahat yang sempit, almarhum dikebumikan. Wajahnya dihadapkan ke kiblat. “Dengan nama Allah dan atas ngama Rasulullah”. Pelan-pelan, kami menimbuninya dengan tanah…Mintalah kepada Allah keteguhan hati saudaramu, sesungguhnya dia akan ditanya… Almarhum menghadapi hari pertamanya dari hari-hari akhirat… Dan aku… sungguh seakan-akan sedang menghadapi hari pertamaku di dunia. Aku benar-benar bertaubat dari kebiasaan burukku. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosaku di masa lalu dan meneguhkanku untuk tetap mentaatinya, memberiku kesudahan hidup yang baik (khusnul khatimah) serta menjadikan kuburanku dan kuburan kaum muslimin sebagai taman-taman Surga. Amin…(Azzamul Qaadim, hal 36-42) Seorang akan mati di atas kebiasaannya…
Sumber :
[“Saudariku Apa yang Menghalangimu Untuk Berhijab”; judul asli Kesudahan yang Berlawanan; Asy Syaikh Abdul Hamid Al-Bilaly; Penerbit : Akafa Press Hal. 48]
[“Saudariku Apa yang Menghalangimu Untuk Berhijab”; judul asli Kesudahan yang Berlawanan; Asy Syaikh Abdul Hamid Al-Bilaly; Penerbit : Akafa Press Hal. 48]
Referensi : http://zadandunia.blogspot.com/2011/11/kisah-nyata-akhir-hayat-penggemar-musik.html
Jumat, 20 November 2015
TAREKAT PETANI
Judul Buku : Tarekat Petani ( Fenomena Tarekat Syattariyah Lokal ) Pengarang : Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si Penerbit : LKIS Tahun Terbit : 2013 Tempat Terbit : Yogyakarta Tebal : 235 Halaman
POKOK-POKOK ISI BUKU : Apakah tindakan religiutas di dalam kehidupan penganut tarekat Syattariyah dalam penggolongan sosial petani ditentukan oleh ajaran tarekat, kebudayaan jawa, dan ligkungan sosial dimana mereka hidup? Maka dalam buku ini, akan digambarkan fenomena religiutas petani tarekat dalam kehidupan mereka sehari-hari, di samping untuk memahami makna religiutas petani tarekat dalam bingkai ajaran tarekat, kehidupan jawa, dan lingkunga sosialnya dengan memfokuskan pada tindakan-tindakan bermakna dari penganut tarekat Syattariyah yang ada di desa Kuanyar, kecamatan mayong, Kabupaten Jepara, Jawa tengah, dalam berhubungan dengan masyarakat di sekitarnya. Daerah ini merupakan daerah pesisir utara jawa tengah yang sejak awal telah menjadi pusat keagamaan, yaitu Isla pusat kerajaan Islam pertama Demak yang dikenal dengan Bintara pada akhir abad ke 15 sampai dengan pertengahan abd ke 16, antara Demak dan Jepara terdapat hubugan erat dimana pada kejayaan Demak, daerah Jepara merupakan tempat tinggal para pedagang dan pelaut. Konon menurut perkiraan bahwa Jepara lebih tua dari Demak. Di kecamatan Mayong ini pula tempat kelahiran pahlwan nasional Raden Ajeng Kartini. Desa Kuanyar, sebagai desa yang mempunyai tradisi keagamaan cukup kuat, dengan variasi kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat. Kegiatan keagamaan yang paling tua di desa Kuanyar ini adalah kegiatan tarekat Syattariyah yang didirikan sekitar tahun 1880-an dan organisasi NU secara resmi sekitar tahun 1950-an. Hal ini bukan berarti masyarakat desa ini tidak mengenal Islam atau tidak mengamalkan ajaran Islam, sebab berbagai peninggalan berupa makam misalnya, makam Bu nyai Emban dan suaminya, Mbah Suradi yang sudah dimusnahkan oleh tokoh Muhammadiyah memberikan indikasi makam Islam. Dalam hal ini pula, penulis tertarik perhatiannya pada konflik antargolongan di desa Kuanyar ini, antara golongan Ahlus Sunnah Wal Jamah (NU) dan Muhammadiyah. Mereka saling membenarkan terhadap pemahaman ajarannya, atau mengenai gerakan-gerakan sholat yang cendrung berbeda dari kedua golongan tersebut. Sejarah Mayong menurut mitologi mulai dari ketika pangeran Hadirin dibunuh oleh Aria penangsang, seorang adipati dari Jipang Panolang. Konon darahnya pangeran Hadirin ini berceceran sehingga mejadi Jember ( tidak disukai ). Kemudian dalam keadaan terluka pangeran Hadirin berjalan di sungai ( kali ) sehingga daerah tersebut disebut sebagai kaliwungu. Beliau harus berjalan dan ketika sampai di suatu lokasi dia menulis di atas pohon bambu (pring) untuk memberi tahu kepada istrinya Kanjeng Ratu Kalinyamat, bahwa dia dalam keadaan terluka maka lokasi tersebut dinamai Pringtulis. Sesampainya di satu tempat pangeran Hadirin berdiri sempoyogngan sehingga lokasi itu dinamai dengan Mayong. Bu Nyai Emban, merupakan cikal bakal Desa Kunyar. Konon Dia adalah salah satu abdi dalem Kanjeng Ratu Kalinyamat yang setia. Setelah suaminya terbunuh, Kanjeng Ratu bertapa sambil telajang di bukit Danaraja. Bu nyai Emban diberi sebidang tanah oleh kanjeng ratu Kalinyamat yang dijadikan sebagai tempat pedepokan. Tanah itu dinamai sebagai Astana Raja, yang ketika bu Nyai Emban meninggal dikuburkan di daerah tersebut. Sampai sekarang makam itu dikenal masyarakat sebagai Sentono. Sampai dewasa ini makam ini dilestarikan dan sekaligus dikramatkan. Karena konon tokoh permpuan ini muridnya Sunan Kudus dan dan seorang ulama dari Cirebon. Desa Kuanyar merupakan desa pertanian. Pada tahun 1960-an desa ini masih terisolir dari interaksi desa-kota. Sampai tahun 1980-an, dokar sebagai kendaraan umum masyarakat ini, dan cikar sebagai angkutan barang. Sehingga pada tahun 1990-an baru desa ini bergerak ke arah moderisasi. Sebagai daerah pedesaan, lingkungan fisik desa diigunakan untuk pertanian, perladangan, dan perumahan penduduk. Dari tanah seluas 188 ha, maka sebanyak kira-kira 50 ha digunakan untuk persawahan irigasi teknis 58 ha untuk lahan pertanian hujan, kira-kira 75 ha untuk pekarangan dan 5 ha untuk perumahan. Hingga tahu 1990-an peumahan penduduk masih jarang-jarang. Rumah-rumah pingggir jalan merupakan rumah permanen berlantai plester, beratap genting, dan berdinding tembok. Seirama dengan perubahan zaman maka sekarang rumah-rumah penduduk telah berlantai marmer atau keramik dengan berbagai variasi. Ditinjau dari afiliasi keagamaan, maka mereka adalah kaum santri yang terpilih sebagai penganut Muhammadiyah da Nahdlatul Ulama ( NU ). Dari yang NU, mereka terdiri dari anggota tarekat, anggota NU, dan mereka yang dikatagorikan sebagai abangan. Mereka hampir tidak pernah konfik idiologis. Rivalitas NU dan Muhammadiyah memang pernah terjadi di awal masuknya gerakan Muhammadiyah di desa ini. NU sebagai organisasi yang telah ada sejak tahun 1950-an, dan Muhammadiyah tahun 1960-an, sebelumnya merasa terancam dengan kehadiran Muhammadiyah sehingga di sana-sini menimbulkan revitalitas dalam perebutan sumber daya pengikut. Pertentangan diantara mereka (NU-Muhammadiyah), bersumber dari perbedaan faham agama. Pertentangan yang paling keras terjadi pada tahun 1964 tentang najisnya anjing. Muhammadiyah menganggapnya tidak mengandung najis mughalladzah sedangkan NU menganggapnya demikian. Revalitas atau apapun namanya, hakikatnya hanya menyentuh dimensi kaumnya elitnya saja karena ternyata dikalangan penganut awam, revalitas tersebut hampir-hampir tidak dijumpai. Terbukti mereka tidak mempermasalahkan apa dan bagaimana tindakan keagamaan masing-masing kelompok. Bahkan nuansa integrasi pun masih terdapat dengan jelas. Jika ada kematian merka saling mengunjungi. Ketika hari raya mereka saling berkunjung. Yang jelas dari afiliasi keagamaan ini, bagi golongan Muhammadiyah aktivitasnya berpusat di masjid at-Taqwa dan kaum NU berada di Masjid Baitul Mujtahidi Kauman dan langgar-langgar. Golongan tarekat Syattariyah di Mushalla Raudlatul Thalibin, tarekat Syadziliyah berpusat di Habib Luthfi Pekalongan, tarekat Naqsyabandiyah Kholidiyah di pondok Kudus Kiai Arwani, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Mayong Kiai Ridlwan dan Margoyoso, dan tarekat Syahadatain di Habib Umar Penguragan Cirebon. Semua tarekat ini berada di bawah satu payung organisasi NU. Dan mereka para tokoh masing-masing tarekat ini sering berada di satu majlis untuk kepentigan dan kemajuan Islam dan oragnisasi NU secara umum. Mengenai sistem dan tata cara perkawinan Jawa, yaitu memilih jodoh, meminang, pesta perkawinan bahkan sampai perceraian dan perkawinan kembali. Dalam tata cara perkawinan di desa Kuanyar ini sangat variatif. Upacara-upacara sekitar perkawinan hingga hari ini masih dilestarikan meskipun ada yang sudah megalami perubahan. Yang sudah berubah biasanya yang bersifat asesoris, seperti tata cara berpakaian pengantin, makanan yang dibawa pengatin dan sebagainya. Yang tidak berubah seperti doa, prosesi penting upacara, dan sebagainya. Pada tahun 1990-an masih terdapat kecendrungan utuk megawinkan abak perempuan Desa Kuanyar dengan laki-laki dari luar desa. Perkawinan dengan pola ini diakibatkan oleh banyaknya kerabat jauh sebagai kosekwesi perkawinan denga orang luar desa. Tapi keadaan ini sudah mulai berubah. Sehingga bayak juga perkawinan dengan pemuda atau pemudi dari satu desa. Pada masyarakat Jawa, perkawinan didasarkan atas bobot, bibit, dan bebet. Jika kesesuaian telah didapatkan maka tibalah giliran untuk ngasok tukon (ngalamar), yag terdiri dari rengginang, wajik atau nasi, pakaian sepangadek (pakaian lengkap) dan cincin (bagi yang punya). Kemudian dalam jangka waktu tertetu, oragtua calon pengantin perempuan datang ke orangtua calon laki-laki yang disebut tonjokan teridir dari nasi dan ingkung (ayam dimasak bumbu satan tanpa dibelah atau dipotong-potong). Nasinya melambangkan agar pengantin hidup rukun jadi satu da bertujuan sama. Sedangka ingkung melambangkan agar pengantin menjadi satu dan tidak terpisahkan. Selain persyaratan bobot, bibit, dan bebet, pada waktu nakoake juga dibicarakan tentang hari kelahiran calom pengantin. Kesatuan hari kelahiran menjadi sangat penting. Jika persyaratan telah dipenuhi, lamaran telah dilaksanakan, maka giliran mentukan hari perkawinan atau ijab qabul. Untuk menentukan hari perkawinan, biasanya diaksaakan musyawarah di tempat calon pengatin laki-laki pada waktu tonjokan. Tapi dengan perhitungan hari saja tidak cukup, masih harus dipertimbangkan nogo dino, nogo sasi, nogo tahun, tali wangke, geblake, wong tuwo dan sebagainya. Yaitu hari-hari yang baik untuk dapat dipakai hajatan. Perhitungan jawa seperti ini semua, mereka yakini betul-betul tidak dibuat main-main. Mereka lakukkan dengan cara riyadhoh atau dengan lelaku da istikharah. Dalam gambarannya bahwa untuk menentukan hari selasa mengapa neptune 3, karena ketika diistikhari ternyata ada tiga cahaya. Hari jumat neptune 6, berarti ketika diisitikharahi ada enam cahaya. Demikian seterusnya. Setelah hari pernikahan disepakati, maka dilakukan upacara selapanan (36 hari mejelang perkawinan). Menjelang perkawinan juga dikenal dengan upacara buka pager, yaitu upacara pada malam menjelang hajatan mengawinkan anak. Upacara ini dihadiri oleh pamong desa dan tetangga terdekat. Acara ini diisi denga tahlilan. Upacara ini dimaksud untuk menunjukan bahwa seseorang akan mempunyai hajat, untuk membuka pagar rumah agar tamu banyak datang dan tidak malu-malu. Dan dipersembhkan juga kepada arwah para leluhur terutama kerabat degan menyajikan kembang telon. Jika dalam hajatan menyembelih kerbau atau sapi, maka dikalungkan tolotawaon (rumah tawon) dengan maksud agar tamu banyak seperti tawon yang mencari kawan. Pada masyarakat pedesaan, hajatan merupakan ajang saling memberi dan menerima namun tidak gratis. Bahkan di desa Kuanyar, undangan hajatan tidak hanya kepada kepala keluarga atau ibu rumah tangga, tapi hampir seluruh anggota keluarga. Anak mengundang anak, orangtua megundang orangtua. Ketika orang pernah mendapat bantuan dan suatu ketika ternyata tidak berhalangan untuk mengembalikan maka juga didapati sangsi moral dalam bentuk tidak disapa. Pada malam mejelang akad nikah, tamu-tamu sudah mulai berkurang hanya keluarga dekat dan anak-anak muda pengiring pengatin. Penganti laki-laki menggunakan jas dan berpeci. Pada tahun tahun 1990-an pengatin diarak dengan menggunakan lampu petromaks. Prosesi perkawinan dengan menggunakan bahasa arab dan bahasa Indonesia. Mula-mula wali (orangtua) pihak pengati perempuan ditanya apakah akan dinikahkan sendiri atau diwakilkan kepada Pak Naib. Setelah itu penganti ditanya apakah sudah senang dan siap bersedia menjadi suami si perempuan. Entah terpaksa atau tidak, pasti pengantin laki-laki menyatakan bersedia. Lalu disuruh membaca syahadat beserta artinya dalam bahasa Idonesia. Mulailah prosesi perikahan. Pak Naib membaca salah satu ayat Al-Qur’an yang terkait denga pernikahan dan dilanjutkan dengan ikrar (ijab kabul) penerimaan nikahnya si perempuan dari pihak laki-laki. Setelah dianggap sah maka dilanjutkan dengan doa dan diakhiri denga membaca ta’liq talaq (janji pihak laki-laki kepada pihak perempuan). Acara temon hanya dilangsugkan sebentar, sekedar bersalaman. Jika orang berkecukupan maka kedua mempelai ditempatkan di pade-pade, untuk pemotretan, prosesi walimatul urusy dan acara mauidzah hasanah (nasihat perkawianan). Acara berikutnya adalah meminjam pengantin berdua dari orangtua pengatin perempuan. Pada masa dahulu, pengantin perempuan ditandu oleh kerabat dekat engantin laki-laki. Sementara itu, pengatin laki-laki berjalan bersama kawan-kawannya. Namun sekarag sudah diganti dengan naik becak, dokar atau kendaraan bermotor. Apabila yang dikawainkan anak terakhir, maka dilagsugkan acara pak ponjen atau punjung tumplek. Dalam satu tahun dua tahun mereka masih berkumpul di rumah keluarga perempuan, namun ada juga perempuan yang mengikuti laki-laki sampai bersangkutan mampu mandiri. Upacara paling menonjol dalam masa kehamilan adalah upacara tingkepan.upacara dapat dilakukan dengan berbagai variasi. Ada yang disertai dengan makan rujak degan, keta kuir, lupat lepet, takir sekul, bubur boro-boro. Semuanya mengandug arti dan lambang tersndiri. Jika bayi sudah lahir, dilangsungkan upacara krayanan yang terdiri dari asi ditaruh di takir dengan lauk pauk tahu tempe tanpa digarami. Menginjak usia lima hari dilakukan sepasar sekaligus pemberian nama dengan bahan makanan tersendiri. Uapacara berikutnya, mudun lemah yang dilakukan ketika bayi berumur tujuh bulan denga makanan gemblong atau jenang yang ditempatkan di nampan. Upacara kematian juga variasi. Yang paling menonjol adalah upacara tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, setahun dan serib hari yang disertai dengan pembacaan tahlil. Selain upacara ritus peralihan, di desa ini juag dikenal dengan berbagai upcara di luar rumah, misalnya upacara di makam Bu Nyai Emban yag dilakukan pada malam Jum’at Wage terakhir menjelang tahun baru Hijriyah. Tujuannya adalah agar masyarakat memperoleh kesalamatan, baik fisik, harta, maupun rohani. Upacara ini dipimpin oleh juru kuci makam dan disertai dengan ijab kabul, bacaa surat al-fatihah untuk Bu Nyai Emban, rakyat Kuanyar, har tujuh, dan pasaran lima dan doa. Upacara tahun baru Hijriyah juga dilaksanakan dengan cara sederhana. Kebanyakan membaca Al-Qur’an dan shalat tobat. Pada malam hari tanggal 1 syura dilakasanakan upacara barikan (sedekah bumi) di makam Bu Nyai Emban, yag terdiri dari membaca tahlilan tanpa sasajen apapun. Kalaupu ada, hanya sekadar sajian teh dan lima ekor ayam panggang untuk makan bersama. Pada bulan besar mereka juga menyelenggarakan upacara yang disebut upacara bodo (bakda) yaitu selamat hari 10 Dzulhijjah atau hari raya idul adha. Upacara ini dilakukan di langgar-langgar milik orang NU. Ada juga upacara kupat tanggal 7 syawal yang dilaksanakan di langgar-langgar, maulid Nabi Saw, Nuzulul Qur’an dan ruwahan yang dilakukan sebulan penuh. Ada pula upacara magenan yang dilakukan menjelang Ramadan dan upacara maleman yang dilaksanakan pada malam-malam ganjil pada bulan puasa, yaitu tgl 21, 23, 25, 27, dan 29. Ketika medirikan rumah, mereka megadakan upacara ritual yaitu selamatan duduk pandemi. Tarekat syattariyah yang mula pertama berkembang di Baghdad lewat Ahmad Syatori, ternyata di Kuanyar tidak punya silsilah genealogis secara jelas. Pengabsahannya hanya sampai pada Kiai Murtadlo yang dinisbahkan sebagai cicit Syaikh Mutamakkin, kemudian Kiai Abdurahman, bangle, Kiai janamin (w.1918), kiai Abdul Hadi (w.1956) kiai Syihabudin, Kuanyar. Tarekat ini mulai berkembang di desa Kunayar sekitar tahu 1880-an ketika beberapa orang dari Kuanyar megaji ke Kiai Badurahman Bangle. Kemudian diutus jananim untuk menjadi kahlifah di Kuanyar. Jananim kemudian diambil menantu oleh seorang janda yang mengiginkan anaknya dinikahi oleh seorang santri yang dapat megajar agama. Karena janda tersebut tergolong orang kaya, maka jananim dapat berkonsentrasi untuk mengajar agama. Kiai Jananim mengajarkan ilmu kasepuhan (tarekat) yang pada waktu itu banyak menarik minat masyarakat sekelilingnya. Murid-muridnya tersebar di desa tiga juru, sengon, Bugel, jebol, dan bahkan ada yang dari Demak. Kegiatannya berpusat di Mesjid Kauman, yaitu Mesjid Baitul Mujathidin. Setelah Kiai Jananim meninggal, pengajian khususnya tarekat digantikan oleh Kiai Abdul Hadi. Disamping memberika pengajian tarekat, Kiai Abdul Hadi ini memberikan pengajian agama Islam kepada masyarakat umum. Beliau selalu menggunakan acara ritual (slametan) sebagai medium untuk memberikan pemahaman agama kepada masyarakat. Setelah Kiai Abdul Hadi meniggal, digantikan oleh anaknya Kiai Syihabudin. Selain mengajar tarekat dan megaji ilmu-ilmu keislaman, kiai juga terlibat dalam kegiatan tahlilan Kelompok Anak Ranting ( KAR ). Kiai Juga suka memberikan pertolongan kepada masyarakat yang sedang bermasalah. Mulai dari orang yang punya hajat sampai utang piutang. Sebagai proses peyucian batin, meamasuki dunia tarekat merupakan suatu yang sangat penting. Makanya tidak salah kalau orang memasuki ajaran tarekat sejak dini. Ajaran tarekat bukan monopoli orangtua. Bahkan anak muda yang bisa memasuki tarekat justru suatu kebaikan. Untuk memasuki dunia tarekat, tetunya ada beberapa persyaratan yag harus dipenuhi, pertama harus mandi taubat, kemudain dilanjutkan dengan sholat taubat sebanyak dua rokaat. Kemudian pembaiatan yang dilakukan oleh mursyid dan murid dengan diberikan pakaian serba putih dan sorban putih sebagai lambang kesucian. Setelah proses pembaiatan diharuskan membaca wirid la ilaha illa llah sebayak 400 kali setiap selesai sholat rawatib. Pada pagi harinya harus menjalankan puasa putih minmal 3 hari dan maksimal sebanyak 21 hari. Dzikir dalam tarekat bermacam-macam sesuia dengan tingkatan penganut taekat. Tarekat syattariyah mengenal dzikir tahlil dan dzikir isbat nabi, masing-masing ada caranya. Yang jelas semua dzikir dan wirid harus melalui bimbingan mursyid (guru) dan dapat dilakukan jika sudah ada perkenan darinya. Pada hakikatnya, manusia mempunyai dua sikap dan tindakan yag berlawanan, kutub kebaikan dan kejelekan. Tarekat sebagai jalan untuk memperoleh keridloan Allah, pada dasarnya mengenal tiga hal penting, yaitu takholli, menjauhkan diri dari segala tindakan kejelekan. Tahalli, berhias diri dengan tidakan yang baik. Dan tajalli, berhias diri dengan cahaya Tuhan. Ketiga hal ini dapat diperoleh jika seorang sudah memasuki dunia tarekat dengan berbagai ritualnya. Takholli berhubungan dengan pengarahan nafsu amarah dan lawwamah untuk dapat diarahkan menjadi nafsu muthmainnah dan radhiyyah. Perwujudan dari nafsu muthmainnah dan radhiyyah adalah adanya berbagai tindakan, seperti ikhlas, jujur, adil, khauf, shabar, tawakkal, qana’an, ikhtiar, dan mahabbah serta taqwa. Kiai Syihabudin sebagai mursyid tarekat syattariyah di desa Kuanyar, pada suatu ketika mejelaskan, bahwa ikhlas adalah suatu hal yag sangat sulit sebab menyangkut perasaan manusia. Orang ikhlas diibaratkan memberi suatu melalui tangan kanan tetapi tangan kirinya tidak mengetahui. Orang yag belum rela memberikan suatu kepada orang lain disebabkan karena belum tertanamnya perasaan ikhlas di dalam hati. Jujur adalah berkata apa adanya, tanpa menambah atau mengurangi sedikitpun. Adil yaitu memberikan sesuatu dengan kadar atau usaha yang dilakukan. Sabar adalah orang yang mengalah karena mengetahui ada kebaikan dengan perbuatan mengalah tersebut. Kahuf adalah selalu merasa takut untuk berbuat jelek karena tindakan itu selalu diawasi oleh Allah. Ikhtiar dan tawakkal yaitu manusia harus berusaha tidak boleh berpangku tangan. Allah akan memberi sesuatu dengan perantara. Syukur yaitu kalau usaha yang kita lakukan berhasil maka kita harus mengingat bahwa Allah-lah yang menentukan. Keberhasilan bukan semata-mata datag dari kita tetapi atas intervensi atau campur tangan Allah. Qana’ah yaitu sederhana dan tidak berlebihan dalam melakukan segala sesuatu. Mahabbah yaitu mencintai Allah melebihi cintanya terhadap yang lain. Menurut orang tarekat bahwa Allah mempunyai sifat, af’al, dan dzat yang berbeda dengan makhluknya. Ketiga hal itu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Ketidak terpisahan sifat, af’al, dan dzat Allah itulah yang disebut dengan tauhid. Bagi penganut tarekat yang sudah melakukan dzikir secara terstruktur maka akan merasakan kehadiran sifat dan af’al Allah meskipun tidak merasakan kehadiran dzat Allah. Penganut tarekat meyakini terhadap adanya makhluk halus. Salah satunya adalah malaikat. Malaikat adalah hamba Allah yang memiliki ketaatan paling tinggi dan tidak pernah membatahnya. Jin dan setan juga makhluk yang diciptakan dari api murni, akan tetapi memiliki tabiat yang berbeda degan malaikat. Makhluk halus lain yang didipercayai oleh pengaut tarekat adalah setan gundul yitu makhluk yang dapat membatu manusia untuk mencuri harta kekayaan orang lain. Gendruwo yaitu makhluk ghaib yang tercipta dari pecahan setan yang dilempar oleh para malaikat ketika mau megintip lauh al mahfuudz. Cenunuk ialah sebangsa memedi yang menakut-nakuti manusia, biasanya ada sesudah ada orang yang meninggal. Dimensi waktu, ada alam arwah,yaitu alam janji dimana manusia secara azali akan melaksanakan segala perintah Allah. Alam dunya,. Alam kubur, dan alam akhirat. Penganut tarekat adalah kaum santri sehingga amalan sebagai wong santri juga dapat dilihat di dalam praktik kehidupannya. Sesungguhnya, amalan keagamaan kaum tarekat tidaklah jauh berbeda dengan amalan keagamaan kaum santri lainnya, terutama yag tergolong sebagai waong NU. Kesamaan tersebut misalnya dapat dilihat dari amalan shalat, zakat, puasa, dan haji. Yang membedakan adalah intensitas dalam pengamalan keagamaannya. Wong NU juga membaca dzikir dalam jumlah yang relatif banyak, akan tetapi dzikir yang terstruktur dan sistematis hanya dilakukan oleh kalangan penganut tarekat. Dzikir dikalangan santri NU bukanlah kewajiban, maka dikalangan penganut tarekat membaca dzikir adalah kewajiban. Membaca dzikir,dalam jumlah yang banyak tergantung maqamnya. Ada yang baru 400 kali, ada yang sampai 10.000 kali. Banyak sedikitnya tergantung lamanya menjadi peganut tarekat. Bacaan dzikir biasanya dilakukan setelah sholat rawatib. Jika udzur membaca dzikir maka bisa digantikan pada waktu lain. Untuk meghitung jumlah wirid yang dibaca, biasanya digunakan tasbih untuk meberikan kemudahan. Kegiatan yang paling penting dalam tarekat adalah baiat, sebagai pintu masuk tarekat. Sebelum baiat maka diwajibkan puasa mutih selama 3 hari atau 21 hari. Tidak ada bedanya dengan puasa wajib dan sunnah lainya, hanya jenis makanan yang cukup dengan nasi dan air putih saja, tidak ikan atau jenis makanan lainnya. Selama berpuasa dianjurkan membaca wirid sebanyak-banyaknya. Sebagai proses latihan masuk dunia tarekat, puasa merupakan proses pendadaran awal aga seseorang dapat mencegah hawa nafsunya, dan yang pertama adalah mencegah nafsu makan dan dimaksudkan untuk membersihkan diri dari nafsu sehingga ketika sudah dibaiat akan dapat mencegah hawa nafsuya sendiri untuk masuk dunia putihan dunia kaum tarekat. Puasa mutih juga dilakukan setelah baiat selama 40 hari. Puasa setelah baiat hanya anjuran saja. Tetapi kebanyaka penganut tarekat akan melakukannya. Seperti yang dituturkan oleh Pak Surahman; “Pak Surahman makan bersama saya di rumahnya pada suatu siang sambil dia berserita bahwa semenjak puasa mutih 40 hari setelah baiat, dia tidak lagi menyukai makan ikan. Semua ikan, baik ikan laut atau ikan sembelihan (kambing, ayam, da sapi) sebab baunya terasa amis dan membuatnya mau muntah, ia hanya makan tahu dan tempe saja semenjak itu” Tentunya tidak semuanya seperti Pak Surhman, kiai Syihabudin misalnya, tetap makan ikan seperti biasa. Dalam satu kesempatan beliau bercerita ; “sehabis tawajuhan, oleh pa kiai saya tidak dierbolehkan lagsug pulag. Ternyata oleh Bu Nyai sudah disiapkan makanan untuk dimakan bersama Pak Kiai. Ada nasi yang ditempatkan di bakul, ada sayur lodeh nangka, ada ika laut, dan juga ada dadar telur. Oleh Pak Kiai, saya diambilkan nasi banyak sekali satu piring penuh. Demikian beliau juga mengammbil nasi lau dituangi dengan sayur tersebut. Saya mengambil ikan dan dadar telur dan belai pun megambil lauk pauk yang sama dengan saya” Bagi yang puasa mutih 40 hari tidak dipersyaratkan memakai telasan (terjaga dari tidur semalam suntuk) akan tetapi dianjurkan untuk membaca dzikir tahlil sebanyak-banyaknya dengan harapa agar terbakar segala nafsu jelek yang bersemayam di dalam diri. Juga memperbanyak sholat tahajud dari 2 rokaat sampai 8 rokaat, setiap dua rokaat salam dan sholat witir dengan bilangan ganjil. Upacara baiat adalah sayarat utama bagi seorang untuk memasuki dunia tarekat. Baiat adalah upacara insiasi yang menandai perlaihan dari seorang muslm biasa ke seorang muslim anggota tarekat. Peralihan sistem kehidupan keagamaan dari dunia syatiat saja ke arah dunia syariat dan hakikat. Dalam kehidupan sehari-hari penganut tarekat memiliki kesamaan dengan penganut agama lainnya, khususya pemeluk Islam terutama Islam yang beraliran Ahlus sunnah wal jamaah atau NU. Jika ada perbedaan maka sesungguhya perbedaan itu terletak pada corak kehidupan batin. Penganut tarekat sangat mementingkan kehidupan batin (esoteris) sedangkan penganut Islam lainnya lebih memetingkan aspek lahir ( eksoteris). Diantara cirinya yang membedakan penganut tarekat dan bukan penganut adalah tindak untuk melakukan wirid atau dzikir secara terstruktur dan sistematis. Pengant tarekat berprinsip bahwa semakin banyak membaca dzikir semakin banyak kemungkinan untuk meperoleh rahmat dan petunjuk Tuhan yang berupa kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Selain dzikir, penganut tarekat memiliki ketaatan yang sangat tinggi dalam melakukan shalat wajib dengan berjamaah. Hal ini terlihat dari keaktifan anggota tarekat untuk melakukan shalat jamaah baik di masjid kauman maupun mushala-mushala. “Pak Surahman adalah penganut tarekat yang juga berkerja sampingan sebagai pedagang padi. Jika dia nebas padi di sekitar Kuanyar maka pada saat shalat Dzuhur pasi pulang ke rumah. Dalam beberapa kali pertemuannta dengan saya, ternyata kalau pulang pukul 11.30 maka yang dikerjakan di rumah adalah melakukan shalat dzuhur” Shalat rawatib memang bisa dilakuka secara berjamaah di masjid, mushalla maupun di rumah. Dalam kasus Pak Sueb, meskipu dalam keadaan batuk yang cukup berat maka shalat berjamaah di masjid tidak pernah absen. Ia berheti shalat berjamaah di masjid kalau memang secara fisik sudah tidak memugkinkan. Tradisi melakukan shalat sunnah juga sangat tinggi. Kebiasaan melakukan shalat malam, misalnya juga diketahui pada diri Pak Surahman, Pak Hanafi dan lainnya. Mereka rata-rata terbiasa bangun pukul 3.00 WIB mejelang pagi. Jika itu sudah biasa dilakukan maka ada perasaan tidak enak jika tidak melakukan shalat malam. Biasanya setelah shalat malam dilanjutkan dengan dzikir menunggu datangnta shalat shubuh. Yang sudah tua dan tidak bekerja-biasanya ikut anaknya- maka rutinitas shalat duha dan isyaraq dapat dlakukan. Seperti Pak Kasmui, dia aktif melaksanakan kedua shalat tersebut. Tradisi melaksanakan puasa sunnah juga sangat mengedapankan. Tidak ada perbedaan antara yang tua dan yang muda dalam hal melaksanakan puasa sunnah. Hanya intasitas dan frekwensinya yang berbeda. Bagi yang muda tergantung pada kondisi eksternal yang meligkupinya. Begitu juga dalam hal tawajjuhan, tampaknya bukan ritual yag harus dilaksanakan dengan tingkat rtinitas yang sangat tinggi. Bagi mereka usia yang masih muda dan banyak kegiatan yang melibatkannya di dalam hubungan dengan keluarga, tetangga, dan masyarakat maka acara tawajjuhan dapat saja ditinggalkan. Namun bagi yang usia sudah tua dan tidak lagi terlibat dalam kegaiatan keluarga, tetangga atau masyarakat maka mendatangi tawajjuhan hampir-hampir menjadi kewajiban. Tapi pilihan tindakan yang dilakukan oleh penganut tarekat ketika harus memilih dua antara kegiatan yang sama-sama berat maka pilihan akan dijatuhkan dengan menggunakan tindakan rasional bertujuan. Ketika harus memilih melakukan tawajjuhan atau sambatan dalam suatu momentum yang sama maka pilihan akan dilakukan dengan menggunkan pertimbangan manakah dua kegiatan tersebut yag bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat dan mana yang bersentuhan dengan kebutuhan diri sediri. Samabatan adalah kegiatan yag melibatkan masyarakat dan hanya dilakukan dalam waktu tertentu. Kegiatan tawajjuhan betujuan untuk kepentingan diri sendiri, dan dapat dilakukan dalam waktu terus menerus, sehingga jika suatu saat ditinggalkan maka kegiatan tersebut masih dapat dilakukan pada kesempatan lain. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan fisik, seperti makan dan minum, penganut tarekat juga tidak menunjukan perbedaan yang sangat mencolok dengan sesama yang lainnya. Aktivitas makan minum, jenis makanan dan minuman serta tempat makan dan minum tidak jauh berbeda dengan individu lainnya. Mereka juga membutuhkan terhadap reproduksi untuk melanjutkan generasi keturunannya, dan hal tersebut dapat diamati dari keinginan untuk kawain lagi yang dikarenakan istri pertamanya tidak mempunyai anak. Seperti pada kasus Pak Kiai Syihabudin. Memang tampaknya dari kasus ini bersifat khusus, tetapi mengandung makna bahwa keinginan mereka untk melanjutkan generasi dari garis keturunannya mejadi bagian penting dalam kehidupan. Hal ini merupakan pola umum dari setiap individu dalam kehidupan. Pola berpakaian tampak amat sederhana, bhkan cendrung kepada pengertian yang penting aurat tertutupi. Gejala demikian tampak ketika mereka berpakaian dalam forum resmi, misalnya pengajian umum, tawajjuhan, tahlilan, dan forum forum tidak resmi seperti di rumah, menerima tamu, ke pasar, ke tempat berdagang dan lain sebagainya. Fenomena ini adalah sebuah cerminan mengenai sikap dan tindakan penganut tareat dalam memandang terhadap makna pakaian dalam kehidupan. Terlepas dari faktor ekonomi yang membelit mereka, tetapi yang jelas bahwa mereka memang tidak meyukai terhadap hal-hal yang menjadikan riya’(menyombongkan diri). Waktu istirahat bagi mereka huga relatif sedikit, apalagi kalau musim bekerja di sawah, menanam atau panen. Mereka jarang tidur siang, walaupun malamnya mengikuti pengajian sampai larut malam. Rata-rata merek tidur empat sampai enam jam. Tapi meskipun demikian, mereka tidak mengurang aktivitas lainya yang terkait dengan ehidupan sosial masyarakatnya, bahkan memenuhi kebutuhan keluarganya. Mereka tetap bekerja untuk kelurganya, kecuali mereka yang emang sudah tidak mampu lagi bekerja karea faktor usia atau sakit. Mereka bekerja di sektor pertanian dengan tanah yang relatif sempit, sehingga mengharuskan mereka untuk bekerja di sektor lain. Seperti perdagangan. Didalam buku ini juga diceritakan kehidupan penganut tarekat yang sudah tidak mampu bekerja, karena faktor usia maupun fakor kesehatan. Atau memang mereka tidak punya pekerjaan (pengangguran). Mereka sangat yakin bahwa manusia tidak mempunyai kekuatan untuk menolak apa yang telah ditakdirka oleh Allah SWT kepda hambanya, termasuk untuk menolak penyakit. Penyakit yang diderita tidak membuat mereka kurang bersyukur kepada Allah. Kehidupan para penganut tarekat adalah kehidupan yang unik, keunikan itu dapat dilihat dari fenomena kehidupan kaum tarekat yang mempunyai ciri khas, yaitu pengamalan agama yang bercorak esoterik. Mereka tidak mengamalkan agama dalam dimensi eksoterik, formal, kaku, dan penuh dengan tafsir teks yang literal, namun mereka mengamalkan ajaran agamanya dengan corak esoterik, mendalam, tidak kaku, dan penh dengan tafsir yag bercorak kepribumian. Mereka beragama dengan rasa bukan denga pikiran. Mereka beragama melalui olah roso. Jadi yang diasah dalam kehidupan beragama adalah mengendepankan “rasa” yang tentunya mengejewantahkan dalam kehidupan dalam hubungannya dengan dunia sekelilingnya.
KEUNGGULAN ISI BUKU : Dalam buku ini, Penulis mampu dan sangat telaten dalam menggambarkan kehidupan para kaum penganut tarekat Syattariyah di Desa Kuanyar dari berbagai latarbelakang pengautnya dan berbagai kegiatan yang sudah menjadi rutinitas mereka. Begitu juga dapat digambar secara gamblang bagaimana para penganut tarekat ini berinterkasi dengan kehidupan sekelilingnya, baik dari dari kalangan sendiri maupun dengan kalangan luar. Wallahu A’lam.
KEUNGGULAN ISI BUKU : Dalam buku ini, Penulis mampu dan sangat telaten dalam menggambarkan kehidupan para kaum penganut tarekat Syattariyah di Desa Kuanyar dari berbagai latarbelakang pengautnya dan berbagai kegiatan yang sudah menjadi rutinitas mereka. Begitu juga dapat digambar secara gamblang bagaimana para penganut tarekat ini berinterkasi dengan kehidupan sekelilingnya, baik dari dari kalangan sendiri maupun dengan kalangan luar. Wallahu A’lam.
Repost from annubala2010.blogspot.com
SEJARAH DESA KUANYAR
Mbok Nyai Emban Tokoh Pertama Babat Desa Kuanyar
Desa Kuanyar adalah salah satu desa dari sekian desa yang mempunyai cerita tutur mengenai asal mula wilayah ini didirikan. Secara adminsitrasi Desa Kuanyar masuk dalam wilayah Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara yaitu terletak lima kilometer sebelah barat daya kota Kecamatan Mayong. Mendengar kata Mayong tentu sebagian orang sudah tidak asing, dikarenakan di kota Mayong inilah sejarah pernah mencatat kelahiran salah seorang Pahlawan Nasionl Indonesia yang bernama Raden Ajeng Kartini yang lebih dikenal sebagai Pahlawan Emansipasi Wanita. Disebut Mayong karena konon diwilayah ini pernah dijadikan sebagai salah satu rute pelarian oleh Sultan Hadirin suami Ratu Kalinyamat pada saat terluka akibat serangan pengikut Adipati Haryo Penangsang seorang Adipati dari Kadipaten Jipang Panolan (sekarang masuk wilayah Blora). Menurut Babad Tanah Jawi Adipati Haryo Penangsang berambisi untuk membunuh Sultan Hadirin beserta istrinya (Ratu Kalinyamat-pen) dikarenakan kedua orang tersebut merupakan keluarga dekat Sunan Prawoto. Adanya ambisi tersebut diakarenakan adanya dendam yang membara di hati Adipati Haryo Penangsang akibat terjadinya sebuah peristiwa tragis yang dialami oleh keluarganya dimasa lalu. Lebih lanjut dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa konon ayah Adipati Haryo Penangsang yang bernama Pangeran Kikin (Raden Surawiyoto) dibunuh ditepi sungai seusai melaksanakan sholat jum’at oleh seseorang yang diutus oleh Raden Bagus Mukmin (nama kecil Sunan Prawoto) putra Raden Trenggono. Oleh karenanya Pangeran Kikin kemudian mendapatkan julukan Pangeran Sekar Seda Ing Lepen (Pangeran kembang yang gugur di sungai). Saat itu usia Pangeran Haryo Penangsang masih kecil sehingga kemudian diasuh oleh kakeknya yang menjadi Adipati di Kadipaten Jipang. Pembunuhan ini dipicu atas adanya perebutan tahta kesultanan Demak sepeninggal Sultan Demak II (Pangeran Sabrang Lor/Adipati Yunus/Pati Unus) yang gugur saat melakukan ekspedisi penyerangan terhadap bangsa Portugis di malaka pada abad ke-15 (tahun 1521). Dalam perebutan itu akhirnya Raden Trenggonolah yang berhasil menduduki tahta kesultanan Demak dikarenakan Raden Kikin ditemukan meninggal ditepi sungai. Raden Kikin dan Raden Trenggono adalah kakak beradik putra Sultan Demak I (Raden Fatah/Jin Bun).
Tragedi pembunuhan ini akhirnya diketahui oleh Pangeran Haryo Penangsang setelah menjadi dewasa. Pangeran Haryo Penangsang mendapatkan informasi ini dari gurunya yaitu Kanjeng Sunan Kudus. Pangeran Haryo Penangsang yang berkarakter keras dan didukung dengan kesaktian yang dimiliki setelah mendapatkan informasi tersebut merasa wajib membalaskan dendam ayahnya. Pada saat itu yang menjadi Raja di Kesultanan Demak adalah Sunan Prawoto (Raden Bagus Mukmin) putra sulung Sultan Trenggono Sultan Demak ke III yang tewas dalam ekspedisi ke Panarukan (tahun 1546). Pada masa pemerintahan Sunan Prawoto ini pusat pemerintahan Kesultanan Demak dipindahkan dari Demak Bintoro ke bukit Prawoto (sekarang masuk wilayah Sukolilo, Pati). Sunan Prawoto mempunyai dua adik perempuan yaitu Raden Ayu Retno Kencono (Ratu Kalinyamat, istri Pangeran Kalinyamat/Pangeran Hadirin yang berkuasa di Kerajaan Kalinyamat, bekas Keraton Kalinyamat diperkirakan berada di Siti Hinggil dibelakang SMA Sultan Agung Kriyan, Ka ) dan Raden Ayu Sekar Aji (istri Joko Tingkir/Sultan Hadiwijoyo). Dikarenakan dendam yang membara itulah akhirnya Pangeran Haryo Penangsang mengutus seorang soreng pati bernama Rangkut untuk membunuh Sunan Prawoto beserta keluarga dekatnya. Diceritakan bahwa pada saat soreng pati tersebut berhasil menyelinap dan masuk kedalam kamar Sultan Demak ke IV itu dan sudah berhadapan dengan sang Sultan, sang Sultan mengakui akan kesalahannya dan rela untuk membayar hutang nyawa dengan syarat agar keluarganya tidak dilibatkan dalam kasus ini. Soreng patipun memenuhi syarat tersebut. Akhirnya soreng pati berhasil membunuh Sunan Prawoto tanpa perlawanan. Keris Kiai Setan Kober berhasil menghujam ke jantung sang Sultan hingga tembus ke belakang (punggung) namun diluar dugaan ujung keris yang tembus ke belakang itu mengenai istri sang Sultan sehingga sang istri meninggal. Melihat kondisi ini sang Sultan yang masih belum menemui ajal bangkit dengan sisa tenaga yang dimilikinya berhasil mencabut keris yang menghujam didadanya dan ditikamkan ke tubuh soreng pati tersebut hingga keduanya meninggal.
Dari kejadian inilah yang akhirnya menimbulkan kepedihan yang mendalam di hati adik sang Sultan yaitu Raden Ayu Retno Kencono. Raden Ayu Retno Kencono bersam suaminya akhirnya menuntut keadilan atas kematian kakaknya kepada Kanjeng Sunan Kudus dikarenakan Kanjeng Sunan Kudus dianggap ikut terlibat dalam kasus itu. Hal ini dikarenakan ditemukannya keris kiai setan kober dalam peristiwa pembunuhan itu dimana keris kiai setan kober tidak lain adalah milik Kanjeng Sunan Kudus. Mendapatkan penjelasan yang mengecewakan dari Kanjeng Sunan Kudus akhirnya Raden Ayu Retno Kencono bersama sang suami pergi meninggalkan padepokan kudus pulang kembali ke Kalinyamat. Ditengah perjalanan rombongan Raden Ayu Retno Kencono dicegat oleh utusan-utusan Pangeran Haryo Penangsang. Pertarunganpun tak dapat dihindari. Dikarenakan jumlah yang tidak sepadan akhirnya banyak jatuh korban dipihak Raden Ayu Retno Kencono termasuk sang suami sendiri yaitu Sultan Hadirin. Sultan Hadirin terluka parah namun berhasil meloloskan diri dari kejaran para pengikut Pangeran Haryo Penangsang. Dengan dibantu oleh istrinya Sultan Hadirin terus berlari menuju Jepara. Peristiwa inilah yang konon kemudian menjadi nama-nama desa disepanjang rute yang dilalui oleh Sultan Hadirin, yaitu mulai dari Desa Damaran Kudus. Konon saat terluka itu penduduk sekitar sedang menghidupkan damar/lampu teplok karena waktu sudah sore sehingga daerah tersebut dinamakan Damaran. Kemudian Desa Prambatan Kudus disebelah baratnya, konon karena saking parahnya luka yang diderita oleh Sultan Hadirin sampai-sampai harus merambat/merangkak untuk berjalan, sehingga daerah tersebut dinamakan Prambatan. Kemudian disebelah barat Desa Prambatan ada desa bernama Kaliwungu Kudus, konon ditempat itu Sultan Hadirin membasuh luka disebuah sungai/kali dan air sungai berubah menjadi wungu/ungu sehingga daerah tersebut dinamakan Kaliwungu. Disebelah barat desa Kaliwungu terdapat desa bernama Desa Pringtulis Jepara, konon didaerah tersebut Sultan Hadirin menulis tetntang apa yang dialaminya itu pada sebatang bambu/pring sehingga daerah tersebut dinamakan Pringtulis. Disebelah barat Desa Pringtulis terdapat Desa Mayong Jepara, konon pada waktu sampai didaerah ini Sultan Hadirin tidak kuat menahan tubuhnya sehingga jalannya sempoyongan/moyang-moyong sehingga daerah ini dinamakan Mayong. Disebalah barat Desa Mayong terdapat Desa Purwogondo, konon didaerah tersebut Sultan Hadirin menghembuskan nafas terakhir, dari jasadnya mengeluarkan bau/gondo wangi sehingga daerah tersebut kemudian dinamakan Purwogondo. Disebelah utara Desa Purwogondo terdapat Desa Krasak, konon saat jasad Sultan Hadirin hendak dibawa ke Mantingan/pesanggrahan Sultan Hadirin, jasad Sultan Hadirin terjatuh disebuah sungai dan menyangkut disebuah jembatan bambu yang menimbulkan bunyi krasak-krasak sehingga daerah tersebut dinamakn desa krasak. Kemudian jasad Sultan Hadirin di kebumikan di Desa Mantingan Jepara.
Asal Usul Desa Kuanyar
Hubungan peristiwa ini dengan asal muasal Desa Kuanyar adalah, bahwa pada saat itu Ratu Kalinyamat mempunyai pengikut setia yang selalu mendampingi Sang Ratu. Beliau adalah seorang dayang yang merawat dan mengasuh Sang Ratu sejak kecil. Karena pekerjaannya mengasuh itulah maka dayang tersebut biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Emban (artinya ibu asuh). Nama asli mbok emban adalah Nyai Safah. Hal ini berdasarkan cerita tutur dan tulisan yang terukir di pintu makam beliau. Sepeninggal Sultan Hadirin Ratu Kalinyamat memberikan penghargaan kepada Mbok Emban berupa sebuah wilayah berjarak 6 kilometer di sebelah tenggara Keraton Kalinyamat untuk ditempati. Dengan penuh ketekunan Mbok Emban bersama suaminya yang bernama Mbah Wali (tidak diketahui nama asli beliau) pindah dan membabat hutan di wilayah yang dimaksud menjadi sebuah tempat tinggal. Oleh Mbok Emban daerah tersebut kemudian dinamakan sentono/ astana raja. Dinamakan demikian karena untuk mengingat jasa Kanjeng Ratu Kalinyamat. Didaerah tersebut kemudian dibangun tempat tinggal dan pesanggrahan. Hingga akhirnya tempat tersebut dikenal sebagai pesanggrahan mbok nyai emban pada masanya. Lambat laun disekitar daerah tersebut mulai ramai didatangi oleh para pendatang yang kemudian menetap dan tinggal disekitar daerah tersebut. Kalau melihat kondisi gegrafis daerah sentono penulis berkeyakinan bahwa pesanggrahan dan tempat tinggal Mbok Emban dulunya terletak ditepi sebuah sungai dengan dikelilingi pohon pohon besar. Namun sungai tersebut kini sudah tidak terlihat jelas karena proses alam yaitu proses sendimentasi/ pendangkalan. Hal ini bisa terlihat dari topografi daerah tersebut yang posisinya lebih tinggi dibanding dengan posisi tanah di sekitar. Sampai sekitar tahun 1996 sekitar 50 meter disebelah barat makam beliau masih terlihat sebuah cekungan panjang menyerupai sebuah sungai meskipun tidak dalam dengan dikelilingi dua buah pohon besar yang berusia ratusan tahun. Sayang dua buah pohon besar yang menjadi peneduh di area makam beliau kini sudah tidak ada lagi karena tumbang dimakan usia. Hal lain yang lebih meyakinkan penulis adalah pernah ditemukannya sumber pasir di persawahan disebelah utara makam beliau. Waktu itu ayah penulis sedang menggali sumur untuk pengairan tanaman jagung di sawah tersebut, namun setelah kedalaman sekitar dua meter galian yang semula berupa tanah berubah menjadi pasir. Pasirnya berwarna coklat sebagaimana umumnya pasir sungai. Tidak hanya satu sumur yang dibuat namun ada empat sumur dan semuanya mengandung pasir. Sumur-sumur itu dibuat empat titik yang masing-masing berjarak empat meter dengan bentuk segi empat. Pasir-pasir tersebut kemudian diambil oleh ayah penulis, bahkan cukup untuk dipakai sebagai bahan bangunan. Bahkan saat itu penulispun ikut membantu ayah mengambil pasir. Dari kejadian inilah penulis yakin bahwa pesanggrahan Mbok Emban terletak ditepi sebuah sungai yang asri dan sejuk. Hal ini juga dikuatkan dengan fakta adanya kubangan air yang membentuk pola memanjang seperti aliran sungai apabila hujan deras, sewaktu ayah penulis masih kecil kubangan air bahkan terlihat lebih jelas.
Pada perkembangannya Pesanggrahan mbok nyai emban sering dikunjungi dan oleh para musafir yang kebetulan melewati daerah tersebut sebagai tempat persingahan ataupun juga diskusi. Salah seorang yang sering singgah ke pesanggrahan beliau adalah seorang ulama yang berasal dari Singaraja Bali bernama Datuk Ida Gurnandi. Mbah Datuk Singorojo begitu sekarang masyarakat meyebut, adalah seorang dai keliling. Beliau menetap disebuah desa berjarak kurang lebih 8 kilometer atau empat kilometer kearah timur laut Pasar Mayong yang diberi nama seperti daerah asalanya yaitu Singorojo. Mbah Datuk sering singgah ke pesanggrahan Mbok Emban apabila sedang melakukan dakwah keliling ke wilayah-wilayah di jepara. Menurut cerita, kebiasaan Mbah Datuk saat singgah disuatu tempat adalah ditanamnya pohon aren didaerah tersebut. Dengan demikian setiap melakukan perjalanan Mbah Datuk selalu membawa buah aren (kolang-kaling). Cerita ini memang ada benarnya karena sampai akhir tahun 1980-an di sekitar makam mbok emban masih ditemui banyak pohon aren meskipun sekarang sudah tidak ada satupun yang tinggal. Ditempat tersebut konon juga didirikan sebuah Masjid. Namun sayang Masjid tersebut ternyata tidak pernah digunakan sembahyang secara berjamah oleh masyarakat sekitar setono. Hingga akhirnya mbah wali (suami mbok emban) menendang bedug masjid (alat untuk memanggil orang untuk pergi ke masjid) sehingga terlempar sejauh tiga ratus meter kearah tenggara masjid dan entah kenapa kemudian masjid itu kemudian terbakar. Bekas reruntuhan batu bata masjid tersebut saat ini masih bisa disaksikan meskipun kondisi batu batanya sudah tidak utuh lagi. Ditendangnya bedug masjid tersebut mengandung maksud sebagai symbol bahwa untuk apa ada bedug kalau masyarakat tidak pernah mau mendengarkan/ datang ke masjid untuk sembahyang (tempat berhentinya bedug tersebut dua ratus delapan puluh tahun kemudian, yaitu sekitar tahun 1880-an dibangunlah masjid baru berdasarkan penafsiran KH Hasan Janamin seorang ulama dan guru sufi yang bermukim didekat tempat tersebut. Masjid tersebut kemudian dikenal sebagai Masjid Kauman atau Masjid Baitul Mujtahidin Kuanyar). Pada tahun 1600-an Mbok Emban dan Mbah Wali meninggal dan beliau berdua dimakamkan didekat pesanggrahan milik mereka berdua.
Setelah era mbok emban kemudian muncul tokoh-tokoh lain yang mendiami tempat-tempat di sekitar setono. Tokoh-tokoh tersebut adalah Mbah Kresek, Mbah Sastro Mulyono, Mbah Sugeng, Raden Suryo, Mbah Cokroamijoyo, Mbah Suradi dan Mbok Dodol. Daerah mereka tinggal kemudian menjadi pedukuhan. Dukuh-dukuh tersebut adalah Sebatang (Mbah Kresek), Gedang Gepeng (Mbah Sastro Mulyono), Mbondoyo (Mbah Sugeng), Ngalasan Timur (Raden Suryo), Ngalasan Barat (Mbah Sastroamijoyo), Kranggan (Mbah Suradi), dan Babadan (Mbok Dodol). Mbah Kresek adalah yang mula-mula memberikan nama Kuanyar dari ungkapan Bumiku Anyar yang kemudian berubah menjadi Kuanyar. Karena beliau yang memberi nama desa kemudian beliau disebut sebagai Mbah Lurah. Untuk Setono sendiri kemudian menjadi bagian dari pedukuhan Kauman dikarenakan kemudian didaerah ini sebagai pusat penyiaran Agama Islam di Desa Kuanyar. Adapun pmerintahan Desa Kuanyar secara administrative setelah era Mbah Lurah (Mbah Kresek) adalah; Banis (1837-1840), Yahya (1840-1865), Ropingi (1880-1905), Wirongangsi (1905-1922), H. Glempo (1922), H. Sulaiman (1922-1945), Maskat (1945-1975), Abu Kholil (1975-1986), Ubeid Zubaidi (1986-1996), Abdul Qodir (1996-2003), Ubeid Zubaidi (2003-2013), dan Abdu Harisman (2013-2019).
Sebagai seorang tokoh yang telah berjasa dalam membuka Desa Kuanyar dan mensiarkan Agama Islam untuk yang kali pertama tentu sangatlah wajar apabila generasi sekarang menghargai dan menghormati jasa beliau, karena bagaimanapun juga Mbok Nyai Emban dan keluarganya adalah pelopor atau lazim disebut Danyang. Namun kenyataannya sekarang sangat memprihatinkan. Satu satunya peninggalan beliau yang tak lain adalah makam beliau sendiri terkesan tak terawat. Bangunan yang menaungi makam beliau dan keluarga serta pengikutnyapun tak ubahnya seperti bangunan reot yang mau roboh. Kumuh, kotor dan berantakan. Begitu juga pemakaman disekitar makam beliau juga terkesan tak terawat tidak ada pagar keliling dan banyak makam yang sudah rusak. Batu nisan juga sudah banyak yang hilang. Terkesan kering dan gersang. Hal ini tentu membutuhkan perhatian khusus dari warga desa khususnya Pemerintah Desa Kuanyar. Pembangunan dan pemugaran yang memadai serta pengelolaan yang baik tentu harus menjadi program yang diprioritaskan.Selain itu juga perlu disusun sebuah buku tentang riwayat beliau oleh pemerintah esa dan tokoh tokoh agama dengan mencari berbagai sumber agar setiap generasi dapat mengetahuinya Pembangunan makam ini tentunya bukan bermaksud untuk mengkultuskan beliau, namun lebih pada perawatan dan pemeliharaan sebuah situs sejarah dari proses panjang lahirnya sebuah desa. Dengan demikian makam tersebut bisa menjadi wisata sejarah bagi masyarakat desa terlebih generasi muda dan generasi yang akan datang agar mengetahui bagaimana desa mereka didirikan. . Tentu hal itu bukanlah hal buruk. Adapaun adanya kekhawatiran akan adanya praktek yang tidak baik itu kembali kepada keimanan masing masing. Selama pengelola bisa menjaga hal hal yang tidak baik serta praktek praktek yang menyimpang tentu hal semacam itu tak perlu dikhawatirkan. Negara yang besar adalah Negara yang warga negaranya menghargai para founding father dan pahlawannya dan desa yang besar adalah desa yang mau menghargai pendiri desanya. Karena bagaimanapun juga adanya kita dan eksistensi kita saat ini adalah hasil dari sebuah proses sejarah yang panjang maka tidak sepatutnya kita memutus rantai sejarah dengan tidak melestarikan peninggalan sejarah yang ada. Semoga Desa Kuanyar menjadi desa yang damai, ramah, mau menghormati dang menghargai leluhur dan yang terpenting tidak kehilangan jati dirinya dan jangan sampai termasuk dalam dalam peribahasa kacang lupa pada kulitnya.
Daftar Pustaka:
1. Syam, Nur. 2013. Tarekat Petani. Yogyakarta: LKiS.
2. Akasah, Hamid. 2006. Menelusuri Lokasi Bekas Keraton Demak. Tidak mencantumkan tempat: CV. Cipta Adi Grafika.
3. Akasah, Hamid. Tidak mencantumkan tahun. Arya Penangsang Perebutan Takhta Kesultanan Demak. Tidak mencantumkan tempat: CV. Cipta Adi Grafika.
Disarikan dari ariyasinawa.blogspot.com
Tragedi pembunuhan ini akhirnya diketahui oleh Pangeran Haryo Penangsang setelah menjadi dewasa. Pangeran Haryo Penangsang mendapatkan informasi ini dari gurunya yaitu Kanjeng Sunan Kudus. Pangeran Haryo Penangsang yang berkarakter keras dan didukung dengan kesaktian yang dimiliki setelah mendapatkan informasi tersebut merasa wajib membalaskan dendam ayahnya. Pada saat itu yang menjadi Raja di Kesultanan Demak adalah Sunan Prawoto (Raden Bagus Mukmin) putra sulung Sultan Trenggono Sultan Demak ke III yang tewas dalam ekspedisi ke Panarukan (tahun 1546). Pada masa pemerintahan Sunan Prawoto ini pusat pemerintahan Kesultanan Demak dipindahkan dari Demak Bintoro ke bukit Prawoto (sekarang masuk wilayah Sukolilo, Pati). Sunan Prawoto mempunyai dua adik perempuan yaitu Raden Ayu Retno Kencono (Ratu Kalinyamat, istri Pangeran Kalinyamat/Pangeran Hadirin yang berkuasa di Kerajaan Kalinyamat, bekas Keraton Kalinyamat diperkirakan berada di Siti Hinggil dibelakang SMA Sultan Agung Kriyan, Ka ) dan Raden Ayu Sekar Aji (istri Joko Tingkir/Sultan Hadiwijoyo). Dikarenakan dendam yang membara itulah akhirnya Pangeran Haryo Penangsang mengutus seorang soreng pati bernama Rangkut untuk membunuh Sunan Prawoto beserta keluarga dekatnya. Diceritakan bahwa pada saat soreng pati tersebut berhasil menyelinap dan masuk kedalam kamar Sultan Demak ke IV itu dan sudah berhadapan dengan sang Sultan, sang Sultan mengakui akan kesalahannya dan rela untuk membayar hutang nyawa dengan syarat agar keluarganya tidak dilibatkan dalam kasus ini. Soreng patipun memenuhi syarat tersebut. Akhirnya soreng pati berhasil membunuh Sunan Prawoto tanpa perlawanan. Keris Kiai Setan Kober berhasil menghujam ke jantung sang Sultan hingga tembus ke belakang (punggung) namun diluar dugaan ujung keris yang tembus ke belakang itu mengenai istri sang Sultan sehingga sang istri meninggal. Melihat kondisi ini sang Sultan yang masih belum menemui ajal bangkit dengan sisa tenaga yang dimilikinya berhasil mencabut keris yang menghujam didadanya dan ditikamkan ke tubuh soreng pati tersebut hingga keduanya meninggal.
Dari kejadian inilah yang akhirnya menimbulkan kepedihan yang mendalam di hati adik sang Sultan yaitu Raden Ayu Retno Kencono. Raden Ayu Retno Kencono bersam suaminya akhirnya menuntut keadilan atas kematian kakaknya kepada Kanjeng Sunan Kudus dikarenakan Kanjeng Sunan Kudus dianggap ikut terlibat dalam kasus itu. Hal ini dikarenakan ditemukannya keris kiai setan kober dalam peristiwa pembunuhan itu dimana keris kiai setan kober tidak lain adalah milik Kanjeng Sunan Kudus. Mendapatkan penjelasan yang mengecewakan dari Kanjeng Sunan Kudus akhirnya Raden Ayu Retno Kencono bersama sang suami pergi meninggalkan padepokan kudus pulang kembali ke Kalinyamat. Ditengah perjalanan rombongan Raden Ayu Retno Kencono dicegat oleh utusan-utusan Pangeran Haryo Penangsang. Pertarunganpun tak dapat dihindari. Dikarenakan jumlah yang tidak sepadan akhirnya banyak jatuh korban dipihak Raden Ayu Retno Kencono termasuk sang suami sendiri yaitu Sultan Hadirin. Sultan Hadirin terluka parah namun berhasil meloloskan diri dari kejaran para pengikut Pangeran Haryo Penangsang. Dengan dibantu oleh istrinya Sultan Hadirin terus berlari menuju Jepara. Peristiwa inilah yang konon kemudian menjadi nama-nama desa disepanjang rute yang dilalui oleh Sultan Hadirin, yaitu mulai dari Desa Damaran Kudus. Konon saat terluka itu penduduk sekitar sedang menghidupkan damar/lampu teplok karena waktu sudah sore sehingga daerah tersebut dinamakan Damaran. Kemudian Desa Prambatan Kudus disebelah baratnya, konon karena saking parahnya luka yang diderita oleh Sultan Hadirin sampai-sampai harus merambat/merangkak untuk berjalan, sehingga daerah tersebut dinamakan Prambatan. Kemudian disebelah barat Desa Prambatan ada desa bernama Kaliwungu Kudus, konon ditempat itu Sultan Hadirin membasuh luka disebuah sungai/kali dan air sungai berubah menjadi wungu/ungu sehingga daerah tersebut dinamakan Kaliwungu. Disebelah barat desa Kaliwungu terdapat desa bernama Desa Pringtulis Jepara, konon didaerah tersebut Sultan Hadirin menulis tetntang apa yang dialaminya itu pada sebatang bambu/pring sehingga daerah tersebut dinamakan Pringtulis. Disebelah barat Desa Pringtulis terdapat Desa Mayong Jepara, konon pada waktu sampai didaerah ini Sultan Hadirin tidak kuat menahan tubuhnya sehingga jalannya sempoyongan/moyang-moyong sehingga daerah ini dinamakan Mayong. Disebalah barat Desa Mayong terdapat Desa Purwogondo, konon didaerah tersebut Sultan Hadirin menghembuskan nafas terakhir, dari jasadnya mengeluarkan bau/gondo wangi sehingga daerah tersebut kemudian dinamakan Purwogondo. Disebelah utara Desa Purwogondo terdapat Desa Krasak, konon saat jasad Sultan Hadirin hendak dibawa ke Mantingan/pesanggrahan Sultan Hadirin, jasad Sultan Hadirin terjatuh disebuah sungai dan menyangkut disebuah jembatan bambu yang menimbulkan bunyi krasak-krasak sehingga daerah tersebut dinamakn desa krasak. Kemudian jasad Sultan Hadirin di kebumikan di Desa Mantingan Jepara.
Asal Usul Desa Kuanyar
Hubungan peristiwa ini dengan asal muasal Desa Kuanyar adalah, bahwa pada saat itu Ratu Kalinyamat mempunyai pengikut setia yang selalu mendampingi Sang Ratu. Beliau adalah seorang dayang yang merawat dan mengasuh Sang Ratu sejak kecil. Karena pekerjaannya mengasuh itulah maka dayang tersebut biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Emban (artinya ibu asuh). Nama asli mbok emban adalah Nyai Safah. Hal ini berdasarkan cerita tutur dan tulisan yang terukir di pintu makam beliau. Sepeninggal Sultan Hadirin Ratu Kalinyamat memberikan penghargaan kepada Mbok Emban berupa sebuah wilayah berjarak 6 kilometer di sebelah tenggara Keraton Kalinyamat untuk ditempati. Dengan penuh ketekunan Mbok Emban bersama suaminya yang bernama Mbah Wali (tidak diketahui nama asli beliau) pindah dan membabat hutan di wilayah yang dimaksud menjadi sebuah tempat tinggal. Oleh Mbok Emban daerah tersebut kemudian dinamakan sentono/ astana raja. Dinamakan demikian karena untuk mengingat jasa Kanjeng Ratu Kalinyamat. Didaerah tersebut kemudian dibangun tempat tinggal dan pesanggrahan. Hingga akhirnya tempat tersebut dikenal sebagai pesanggrahan mbok nyai emban pada masanya. Lambat laun disekitar daerah tersebut mulai ramai didatangi oleh para pendatang yang kemudian menetap dan tinggal disekitar daerah tersebut. Kalau melihat kondisi gegrafis daerah sentono penulis berkeyakinan bahwa pesanggrahan dan tempat tinggal Mbok Emban dulunya terletak ditepi sebuah sungai dengan dikelilingi pohon pohon besar. Namun sungai tersebut kini sudah tidak terlihat jelas karena proses alam yaitu proses sendimentasi/ pendangkalan. Hal ini bisa terlihat dari topografi daerah tersebut yang posisinya lebih tinggi dibanding dengan posisi tanah di sekitar. Sampai sekitar tahun 1996 sekitar 50 meter disebelah barat makam beliau masih terlihat sebuah cekungan panjang menyerupai sebuah sungai meskipun tidak dalam dengan dikelilingi dua buah pohon besar yang berusia ratusan tahun. Sayang dua buah pohon besar yang menjadi peneduh di area makam beliau kini sudah tidak ada lagi karena tumbang dimakan usia. Hal lain yang lebih meyakinkan penulis adalah pernah ditemukannya sumber pasir di persawahan disebelah utara makam beliau. Waktu itu ayah penulis sedang menggali sumur untuk pengairan tanaman jagung di sawah tersebut, namun setelah kedalaman sekitar dua meter galian yang semula berupa tanah berubah menjadi pasir. Pasirnya berwarna coklat sebagaimana umumnya pasir sungai. Tidak hanya satu sumur yang dibuat namun ada empat sumur dan semuanya mengandung pasir. Sumur-sumur itu dibuat empat titik yang masing-masing berjarak empat meter dengan bentuk segi empat. Pasir-pasir tersebut kemudian diambil oleh ayah penulis, bahkan cukup untuk dipakai sebagai bahan bangunan. Bahkan saat itu penulispun ikut membantu ayah mengambil pasir. Dari kejadian inilah penulis yakin bahwa pesanggrahan Mbok Emban terletak ditepi sebuah sungai yang asri dan sejuk. Hal ini juga dikuatkan dengan fakta adanya kubangan air yang membentuk pola memanjang seperti aliran sungai apabila hujan deras, sewaktu ayah penulis masih kecil kubangan air bahkan terlihat lebih jelas.
Pada perkembangannya Pesanggrahan mbok nyai emban sering dikunjungi dan oleh para musafir yang kebetulan melewati daerah tersebut sebagai tempat persingahan ataupun juga diskusi. Salah seorang yang sering singgah ke pesanggrahan beliau adalah seorang ulama yang berasal dari Singaraja Bali bernama Datuk Ida Gurnandi. Mbah Datuk Singorojo begitu sekarang masyarakat meyebut, adalah seorang dai keliling. Beliau menetap disebuah desa berjarak kurang lebih 8 kilometer atau empat kilometer kearah timur laut Pasar Mayong yang diberi nama seperti daerah asalanya yaitu Singorojo. Mbah Datuk sering singgah ke pesanggrahan Mbok Emban apabila sedang melakukan dakwah keliling ke wilayah-wilayah di jepara. Menurut cerita, kebiasaan Mbah Datuk saat singgah disuatu tempat adalah ditanamnya pohon aren didaerah tersebut. Dengan demikian setiap melakukan perjalanan Mbah Datuk selalu membawa buah aren (kolang-kaling). Cerita ini memang ada benarnya karena sampai akhir tahun 1980-an di sekitar makam mbok emban masih ditemui banyak pohon aren meskipun sekarang sudah tidak ada satupun yang tinggal. Ditempat tersebut konon juga didirikan sebuah Masjid. Namun sayang Masjid tersebut ternyata tidak pernah digunakan sembahyang secara berjamah oleh masyarakat sekitar setono. Hingga akhirnya mbah wali (suami mbok emban) menendang bedug masjid (alat untuk memanggil orang untuk pergi ke masjid) sehingga terlempar sejauh tiga ratus meter kearah tenggara masjid dan entah kenapa kemudian masjid itu kemudian terbakar. Bekas reruntuhan batu bata masjid tersebut saat ini masih bisa disaksikan meskipun kondisi batu batanya sudah tidak utuh lagi. Ditendangnya bedug masjid tersebut mengandung maksud sebagai symbol bahwa untuk apa ada bedug kalau masyarakat tidak pernah mau mendengarkan/ datang ke masjid untuk sembahyang (tempat berhentinya bedug tersebut dua ratus delapan puluh tahun kemudian, yaitu sekitar tahun 1880-an dibangunlah masjid baru berdasarkan penafsiran KH Hasan Janamin seorang ulama dan guru sufi yang bermukim didekat tempat tersebut. Masjid tersebut kemudian dikenal sebagai Masjid Kauman atau Masjid Baitul Mujtahidin Kuanyar). Pada tahun 1600-an Mbok Emban dan Mbah Wali meninggal dan beliau berdua dimakamkan didekat pesanggrahan milik mereka berdua.
Setelah era mbok emban kemudian muncul tokoh-tokoh lain yang mendiami tempat-tempat di sekitar setono. Tokoh-tokoh tersebut adalah Mbah Kresek, Mbah Sastro Mulyono, Mbah Sugeng, Raden Suryo, Mbah Cokroamijoyo, Mbah Suradi dan Mbok Dodol. Daerah mereka tinggal kemudian menjadi pedukuhan. Dukuh-dukuh tersebut adalah Sebatang (Mbah Kresek), Gedang Gepeng (Mbah Sastro Mulyono), Mbondoyo (Mbah Sugeng), Ngalasan Timur (Raden Suryo), Ngalasan Barat (Mbah Sastroamijoyo), Kranggan (Mbah Suradi), dan Babadan (Mbok Dodol). Mbah Kresek adalah yang mula-mula memberikan nama Kuanyar dari ungkapan Bumiku Anyar yang kemudian berubah menjadi Kuanyar. Karena beliau yang memberi nama desa kemudian beliau disebut sebagai Mbah Lurah. Untuk Setono sendiri kemudian menjadi bagian dari pedukuhan Kauman dikarenakan kemudian didaerah ini sebagai pusat penyiaran Agama Islam di Desa Kuanyar. Adapun pmerintahan Desa Kuanyar secara administrative setelah era Mbah Lurah (Mbah Kresek) adalah; Banis (1837-1840), Yahya (1840-1865), Ropingi (1880-1905), Wirongangsi (1905-1922), H. Glempo (1922), H. Sulaiman (1922-1945), Maskat (1945-1975), Abu Kholil (1975-1986), Ubeid Zubaidi (1986-1996), Abdul Qodir (1996-2003), Ubeid Zubaidi (2003-2013), dan Abdu Harisman (2013-2019).
Sebagai seorang tokoh yang telah berjasa dalam membuka Desa Kuanyar dan mensiarkan Agama Islam untuk yang kali pertama tentu sangatlah wajar apabila generasi sekarang menghargai dan menghormati jasa beliau, karena bagaimanapun juga Mbok Nyai Emban dan keluarganya adalah pelopor atau lazim disebut Danyang. Namun kenyataannya sekarang sangat memprihatinkan. Satu satunya peninggalan beliau yang tak lain adalah makam beliau sendiri terkesan tak terawat. Bangunan yang menaungi makam beliau dan keluarga serta pengikutnyapun tak ubahnya seperti bangunan reot yang mau roboh. Kumuh, kotor dan berantakan. Begitu juga pemakaman disekitar makam beliau juga terkesan tak terawat tidak ada pagar keliling dan banyak makam yang sudah rusak. Batu nisan juga sudah banyak yang hilang. Terkesan kering dan gersang. Hal ini tentu membutuhkan perhatian khusus dari warga desa khususnya Pemerintah Desa Kuanyar. Pembangunan dan pemugaran yang memadai serta pengelolaan yang baik tentu harus menjadi program yang diprioritaskan.Selain itu juga perlu disusun sebuah buku tentang riwayat beliau oleh pemerintah esa dan tokoh tokoh agama dengan mencari berbagai sumber agar setiap generasi dapat mengetahuinya Pembangunan makam ini tentunya bukan bermaksud untuk mengkultuskan beliau, namun lebih pada perawatan dan pemeliharaan sebuah situs sejarah dari proses panjang lahirnya sebuah desa. Dengan demikian makam tersebut bisa menjadi wisata sejarah bagi masyarakat desa terlebih generasi muda dan generasi yang akan datang agar mengetahui bagaimana desa mereka didirikan. . Tentu hal itu bukanlah hal buruk. Adapaun adanya kekhawatiran akan adanya praktek yang tidak baik itu kembali kepada keimanan masing masing. Selama pengelola bisa menjaga hal hal yang tidak baik serta praktek praktek yang menyimpang tentu hal semacam itu tak perlu dikhawatirkan. Negara yang besar adalah Negara yang warga negaranya menghargai para founding father dan pahlawannya dan desa yang besar adalah desa yang mau menghargai pendiri desanya. Karena bagaimanapun juga adanya kita dan eksistensi kita saat ini adalah hasil dari sebuah proses sejarah yang panjang maka tidak sepatutnya kita memutus rantai sejarah dengan tidak melestarikan peninggalan sejarah yang ada. Semoga Desa Kuanyar menjadi desa yang damai, ramah, mau menghormati dang menghargai leluhur dan yang terpenting tidak kehilangan jati dirinya dan jangan sampai termasuk dalam dalam peribahasa kacang lupa pada kulitnya.
Daftar Pustaka:
1. Syam, Nur. 2013. Tarekat Petani. Yogyakarta: LKiS.
2. Akasah, Hamid. 2006. Menelusuri Lokasi Bekas Keraton Demak. Tidak mencantumkan tempat: CV. Cipta Adi Grafika.
3. Akasah, Hamid. Tidak mencantumkan tahun. Arya Penangsang Perebutan Takhta Kesultanan Demak. Tidak mencantumkan tempat: CV. Cipta Adi Grafika.
Disarikan dari ariyasinawa.blogspot.com
Langganan:
Postingan (Atom)