Jumat, 20 November 2015

TAREKAT PETANI

Judul Buku : Tarekat Petani ( Fenomena Tarekat Syattariyah Lokal ) Pengarang : Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si Penerbit : LKIS Tahun Terbit : 2013 Tempat Terbit : Yogyakarta Tebal : 235 Halaman

POKOK-POKOK ISI BUKU : Apakah tindakan religiutas di dalam kehidupan penganut tarekat Syattariyah dalam penggolongan sosial petani ditentukan oleh ajaran tarekat, kebudayaan jawa, dan ligkungan sosial dimana mereka hidup? Maka dalam buku ini, akan digambarkan fenomena religiutas petani tarekat dalam kehidupan mereka sehari-hari, di samping untuk memahami makna religiutas petani tarekat dalam bingkai ajaran tarekat, kehidupan jawa, dan lingkunga sosialnya dengan memfokuskan pada tindakan-tindakan bermakna dari penganut tarekat Syattariyah yang ada di desa Kuanyar, kecamatan mayong, Kabupaten Jepara, Jawa tengah, dalam berhubungan dengan masyarakat di sekitarnya. Daerah ini merupakan daerah pesisir utara jawa tengah yang sejak awal telah menjadi pusat keagamaan, yaitu Isla pusat kerajaan Islam pertama Demak yang dikenal dengan Bintara pada akhir abad ke 15 sampai dengan pertengahan abd ke 16, antara Demak dan Jepara terdapat hubugan erat dimana pada kejayaan Demak, daerah Jepara merupakan tempat tinggal para pedagang dan pelaut. Konon menurut perkiraan bahwa Jepara lebih tua dari Demak. Di kecamatan Mayong ini pula tempat kelahiran pahlwan nasional Raden Ajeng Kartini. Desa Kuanyar, sebagai desa yang mempunyai tradisi keagamaan cukup kuat, dengan variasi kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat. Kegiatan keagamaan yang paling tua di desa Kuanyar ini adalah kegiatan tarekat Syattariyah yang didirikan sekitar tahun 1880-an dan organisasi NU secara resmi sekitar tahun 1950-an. Hal ini bukan berarti masyarakat desa ini tidak mengenal Islam atau tidak mengamalkan ajaran Islam, sebab berbagai peninggalan berupa makam misalnya, makam Bu nyai Emban dan suaminya, Mbah Suradi yang sudah dimusnahkan oleh tokoh Muhammadiyah memberikan indikasi makam Islam. Dalam hal ini pula, penulis tertarik perhatiannya pada konflik antargolongan di desa Kuanyar ini, antara golongan Ahlus Sunnah Wal Jamah (NU) dan Muhammadiyah. Mereka saling membenarkan terhadap pemahaman ajarannya, atau mengenai gerakan-gerakan sholat yang cendrung berbeda dari kedua golongan tersebut. Sejarah Mayong menurut mitologi mulai dari ketika pangeran Hadirin dibunuh oleh Aria penangsang, seorang adipati dari Jipang Panolang. Konon darahnya pangeran Hadirin ini berceceran sehingga mejadi Jember ( tidak disukai ). Kemudian dalam keadaan terluka pangeran Hadirin berjalan di sungai ( kali ) sehingga daerah tersebut disebut sebagai kaliwungu. Beliau harus berjalan dan ketika sampai di suatu lokasi dia menulis di atas pohon bambu (pring) untuk memberi tahu kepada istrinya Kanjeng Ratu Kalinyamat, bahwa dia dalam keadaan terluka maka lokasi tersebut dinamai Pringtulis. Sesampainya di satu tempat pangeran Hadirin berdiri sempoyogngan sehingga lokasi itu dinamai dengan Mayong. Bu Nyai Emban, merupakan cikal bakal Desa Kunyar. Konon Dia adalah salah satu abdi dalem Kanjeng Ratu Kalinyamat yang setia. Setelah suaminya terbunuh, Kanjeng Ratu bertapa sambil telajang di bukit Danaraja. Bu nyai Emban diberi sebidang tanah oleh kanjeng ratu Kalinyamat yang dijadikan sebagai tempat pedepokan. Tanah itu dinamai sebagai Astana Raja, yang ketika bu Nyai Emban meninggal dikuburkan di daerah tersebut. Sampai sekarang makam itu dikenal masyarakat sebagai Sentono. Sampai dewasa ini makam ini dilestarikan dan sekaligus dikramatkan. Karena konon tokoh permpuan ini muridnya Sunan Kudus dan dan seorang ulama dari Cirebon. Desa Kuanyar merupakan desa pertanian. Pada tahun 1960-an desa ini masih terisolir dari interaksi desa-kota. Sampai tahun 1980-an, dokar sebagai kendaraan umum masyarakat ini, dan cikar sebagai angkutan barang. Sehingga pada tahun 1990-an baru desa ini bergerak ke arah moderisasi. Sebagai daerah pedesaan, lingkungan fisik desa diigunakan untuk pertanian, perladangan, dan perumahan penduduk. Dari tanah seluas 188 ha, maka sebanyak kira-kira 50 ha digunakan untuk persawahan irigasi teknis 58 ha untuk lahan pertanian hujan, kira-kira 75 ha untuk pekarangan dan 5 ha untuk perumahan. Hingga tahu 1990-an peumahan penduduk masih jarang-jarang. Rumah-rumah pingggir jalan merupakan rumah permanen berlantai plester, beratap genting, dan berdinding tembok. Seirama dengan perubahan zaman maka sekarang rumah-rumah penduduk telah berlantai marmer atau keramik dengan berbagai variasi. Ditinjau dari afiliasi keagamaan, maka mereka adalah kaum santri yang terpilih sebagai penganut Muhammadiyah da Nahdlatul Ulama ( NU ). Dari yang NU, mereka terdiri dari anggota tarekat, anggota NU, dan mereka yang dikatagorikan sebagai abangan. Mereka hampir tidak pernah konfik idiologis. Rivalitas NU dan Muhammadiyah memang pernah terjadi di awal masuknya gerakan Muhammadiyah di desa ini. NU sebagai organisasi yang telah ada sejak tahun 1950-an, dan Muhammadiyah tahun 1960-an, sebelumnya merasa terancam dengan kehadiran Muhammadiyah sehingga di sana-sini menimbulkan revitalitas dalam perebutan sumber daya pengikut. Pertentangan diantara mereka (NU-Muhammadiyah), bersumber dari perbedaan faham agama. Pertentangan yang paling keras terjadi pada tahun 1964 tentang najisnya anjing. Muhammadiyah menganggapnya tidak mengandung najis mughalladzah sedangkan NU menganggapnya demikian. Revalitas atau apapun namanya, hakikatnya hanya menyentuh dimensi kaumnya elitnya saja karena ternyata dikalangan penganut awam, revalitas tersebut hampir-hampir tidak dijumpai. Terbukti mereka tidak mempermasalahkan apa dan bagaimana tindakan keagamaan masing-masing kelompok. Bahkan nuansa integrasi pun masih terdapat dengan jelas. Jika ada kematian merka saling mengunjungi. Ketika hari raya mereka saling berkunjung. Yang jelas dari afiliasi keagamaan ini, bagi golongan Muhammadiyah aktivitasnya berpusat di masjid at-Taqwa dan kaum NU berada di Masjid Baitul Mujtahidi Kauman dan langgar-langgar. Golongan tarekat Syattariyah di Mushalla Raudlatul Thalibin, tarekat Syadziliyah berpusat di Habib Luthfi Pekalongan, tarekat Naqsyabandiyah Kholidiyah di pondok Kudus Kiai Arwani, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Mayong Kiai Ridlwan dan Margoyoso, dan tarekat Syahadatain di Habib Umar Penguragan Cirebon. Semua tarekat ini berada di bawah satu payung organisasi NU. Dan mereka para tokoh masing-masing tarekat ini sering berada di satu majlis untuk kepentigan dan kemajuan Islam dan oragnisasi NU secara umum. Mengenai sistem dan tata cara perkawinan Jawa, yaitu memilih jodoh, meminang, pesta perkawinan bahkan sampai perceraian dan perkawinan kembali. Dalam tata cara perkawinan di desa Kuanyar ini sangat variatif. Upacara-upacara sekitar perkawinan hingga hari ini masih dilestarikan meskipun ada yang sudah megalami perubahan. Yang sudah berubah biasanya yang bersifat asesoris, seperti tata cara berpakaian pengantin, makanan yang dibawa pengatin dan sebagainya. Yang tidak berubah seperti doa, prosesi penting upacara, dan sebagainya. Pada tahun 1990-an masih terdapat kecendrungan utuk megawinkan abak perempuan Desa Kuanyar dengan laki-laki dari luar desa. Perkawinan dengan pola ini diakibatkan oleh banyaknya kerabat jauh sebagai kosekwesi perkawinan denga orang luar desa. Tapi keadaan ini sudah mulai berubah. Sehingga bayak juga perkawinan dengan pemuda atau pemudi dari satu desa. Pada masyarakat Jawa, perkawinan didasarkan atas bobot, bibit, dan bebet. Jika kesesuaian telah didapatkan maka tibalah giliran untuk ngasok tukon (ngalamar), yag terdiri dari rengginang, wajik atau nasi, pakaian sepangadek (pakaian lengkap) dan cincin (bagi yang punya). Kemudian dalam jangka waktu tertetu, oragtua calon pengantin perempuan datang ke orangtua calon laki-laki yang disebut tonjokan teridir dari nasi dan ingkung (ayam dimasak bumbu satan tanpa dibelah atau dipotong-potong). Nasinya melambangkan agar pengantin hidup rukun jadi satu da bertujuan sama. Sedangka ingkung melambangkan agar pengantin menjadi satu dan tidak terpisahkan. Selain persyaratan bobot, bibit, dan bebet, pada waktu nakoake juga dibicarakan tentang hari kelahiran calom pengantin. Kesatuan hari kelahiran menjadi sangat penting. Jika persyaratan telah dipenuhi, lamaran telah dilaksanakan, maka giliran mentukan hari perkawinan atau ijab qabul. Untuk menentukan hari perkawinan, biasanya diaksaakan musyawarah di tempat calon pengatin laki-laki pada waktu tonjokan. Tapi dengan perhitungan hari saja tidak cukup, masih harus dipertimbangkan nogo dino, nogo sasi, nogo tahun, tali wangke, geblake, wong tuwo dan sebagainya. Yaitu hari-hari yang baik untuk dapat dipakai hajatan. Perhitungan jawa seperti ini semua, mereka yakini betul-betul tidak dibuat main-main. Mereka lakukkan dengan cara riyadhoh atau dengan lelaku da istikharah. Dalam gambarannya bahwa untuk menentukan hari selasa mengapa neptune 3, karena ketika diistikhari ternyata ada tiga cahaya. Hari jumat neptune 6, berarti ketika diisitikharahi ada enam cahaya. Demikian seterusnya. Setelah hari pernikahan disepakati, maka dilakukan upacara selapanan (36 hari mejelang perkawinan). Menjelang perkawinan juga dikenal dengan upacara buka pager, yaitu upacara pada malam menjelang hajatan mengawinkan anak. Upacara ini dihadiri oleh pamong desa dan tetangga terdekat. Acara ini diisi denga tahlilan. Upacara ini dimaksud untuk menunjukan bahwa seseorang akan mempunyai hajat, untuk membuka pagar rumah agar tamu banyak datang dan tidak malu-malu. Dan dipersembhkan juga kepada arwah para leluhur terutama kerabat degan menyajikan kembang telon. Jika dalam hajatan menyembelih kerbau atau sapi, maka dikalungkan tolotawaon (rumah tawon) dengan maksud agar tamu banyak seperti tawon yang mencari kawan. Pada masyarakat pedesaan, hajatan merupakan ajang saling memberi dan menerima namun tidak gratis. Bahkan di desa Kuanyar, undangan hajatan tidak hanya kepada kepala keluarga atau ibu rumah tangga, tapi hampir seluruh anggota keluarga. Anak mengundang anak, orangtua megundang orangtua. Ketika orang pernah mendapat bantuan dan suatu ketika ternyata tidak berhalangan untuk mengembalikan maka juga didapati sangsi moral dalam bentuk tidak disapa. Pada malam mejelang akad nikah, tamu-tamu sudah mulai berkurang hanya keluarga dekat dan anak-anak muda pengiring pengatin. Penganti laki-laki menggunakan jas dan berpeci. Pada tahun tahun 1990-an pengatin diarak dengan menggunakan lampu petromaks. Prosesi perkawinan dengan menggunakan bahasa arab dan bahasa Indonesia. Mula-mula wali (orangtua) pihak pengati perempuan ditanya apakah akan dinikahkan sendiri atau diwakilkan kepada Pak Naib. Setelah itu penganti ditanya apakah sudah senang dan siap bersedia menjadi suami si perempuan. Entah terpaksa atau tidak, pasti pengantin laki-laki menyatakan bersedia. Lalu disuruh membaca syahadat beserta artinya dalam bahasa Idonesia. Mulailah prosesi perikahan. Pak Naib membaca salah satu ayat Al-Qur’an yang terkait denga pernikahan dan dilanjutkan dengan ikrar (ijab kabul) penerimaan nikahnya si perempuan dari pihak laki-laki. Setelah dianggap sah maka dilanjutkan dengan doa dan diakhiri denga membaca ta’liq talaq (janji pihak laki-laki kepada pihak perempuan). Acara temon hanya dilangsugkan sebentar, sekedar bersalaman. Jika orang berkecukupan maka kedua mempelai ditempatkan di pade-pade, untuk pemotretan, prosesi walimatul urusy dan acara mauidzah hasanah (nasihat perkawianan). Acara berikutnya adalah meminjam pengantin berdua dari orangtua pengatin perempuan. Pada masa dahulu, pengantin perempuan ditandu oleh kerabat dekat engantin laki-laki. Sementara itu, pengatin laki-laki berjalan bersama kawan-kawannya. Namun sekarag sudah diganti dengan naik becak, dokar atau kendaraan bermotor. Apabila yang dikawainkan anak terakhir, maka dilagsugkan acara pak ponjen atau punjung tumplek. Dalam satu tahun dua tahun mereka masih berkumpul di rumah keluarga perempuan, namun ada juga perempuan yang mengikuti laki-laki sampai bersangkutan mampu mandiri. Upacara paling menonjol dalam masa kehamilan adalah upacara tingkepan.upacara dapat dilakukan dengan berbagai variasi. Ada yang disertai dengan makan rujak degan, keta kuir, lupat lepet, takir sekul, bubur boro-boro. Semuanya mengandug arti dan lambang tersndiri. Jika bayi sudah lahir, dilangsungkan upacara krayanan yang terdiri dari asi ditaruh di takir dengan lauk pauk tahu tempe tanpa digarami. Menginjak usia lima hari dilakukan sepasar sekaligus pemberian nama dengan bahan makanan tersendiri. Uapacara berikutnya, mudun lemah yang dilakukan ketika bayi berumur tujuh bulan denga makanan gemblong atau jenang yang ditempatkan di nampan. Upacara kematian juga variasi. Yang paling menonjol adalah upacara tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, setahun dan serib hari yang disertai dengan pembacaan tahlil. Selain upacara ritus peralihan, di desa ini juag dikenal dengan berbagai upcara di luar rumah, misalnya upacara di makam Bu Nyai Emban yag dilakukan pada malam Jum’at Wage terakhir menjelang tahun baru Hijriyah. Tujuannya adalah agar masyarakat memperoleh kesalamatan, baik fisik, harta, maupun rohani. Upacara ini dipimpin oleh juru kuci makam dan disertai dengan ijab kabul, bacaa surat al-fatihah untuk Bu Nyai Emban, rakyat Kuanyar, har tujuh, dan pasaran lima dan doa. Upacara tahun baru Hijriyah juga dilaksanakan dengan cara sederhana. Kebanyakan membaca Al-Qur’an dan shalat tobat. Pada malam hari tanggal 1 syura dilakasanakan upacara barikan (sedekah bumi) di makam Bu Nyai Emban, yag terdiri dari membaca tahlilan tanpa sasajen apapun. Kalaupu ada, hanya sekadar sajian teh dan lima ekor ayam panggang untuk makan bersama. Pada bulan besar mereka juga menyelenggarakan upacara yang disebut upacara bodo (bakda) yaitu selamat hari 10 Dzulhijjah atau hari raya idul adha. Upacara ini dilakukan di langgar-langgar milik orang NU. Ada juga upacara kupat tanggal 7 syawal yang dilaksanakan di langgar-langgar, maulid Nabi Saw, Nuzulul Qur’an dan ruwahan yang dilakukan sebulan penuh. Ada pula upacara magenan yang dilakukan menjelang Ramadan dan upacara maleman yang dilaksanakan pada malam-malam ganjil pada bulan puasa, yaitu tgl 21, 23, 25, 27, dan 29. Ketika medirikan rumah, mereka megadakan upacara ritual yaitu selamatan duduk pandemi. Tarekat syattariyah yang mula pertama berkembang di Baghdad lewat Ahmad Syatori, ternyata di Kuanyar tidak punya silsilah genealogis secara jelas. Pengabsahannya hanya sampai pada Kiai Murtadlo yang dinisbahkan sebagai cicit Syaikh Mutamakkin, kemudian Kiai Abdurahman, bangle, Kiai janamin (w.1918), kiai Abdul Hadi (w.1956) kiai Syihabudin, Kuanyar. Tarekat ini mulai berkembang di desa Kunayar sekitar tahu 1880-an ketika beberapa orang dari Kuanyar megaji ke Kiai Badurahman Bangle. Kemudian diutus jananim untuk menjadi kahlifah di Kuanyar. Jananim kemudian diambil menantu oleh seorang janda yang mengiginkan anaknya dinikahi oleh seorang santri yang dapat megajar agama. Karena janda tersebut tergolong orang kaya, maka jananim dapat berkonsentrasi untuk mengajar agama. Kiai Jananim mengajarkan ilmu kasepuhan (tarekat) yang pada waktu itu banyak menarik minat masyarakat sekelilingnya. Murid-muridnya tersebar di desa tiga juru, sengon, Bugel, jebol, dan bahkan ada yang dari Demak. Kegiatannya berpusat di Mesjid Kauman, yaitu Mesjid Baitul Mujathidin. Setelah Kiai Jananim meninggal, pengajian khususnya tarekat digantikan oleh Kiai Abdul Hadi. Disamping memberika pengajian tarekat, Kiai Abdul Hadi ini memberikan pengajian agama Islam kepada masyarakat umum. Beliau selalu menggunakan acara ritual (slametan) sebagai medium untuk memberikan pemahaman agama kepada masyarakat. Setelah Kiai Abdul Hadi meniggal, digantikan oleh anaknya Kiai Syihabudin. Selain mengajar tarekat dan megaji ilmu-ilmu keislaman, kiai juga terlibat dalam kegiatan tahlilan Kelompok Anak Ranting ( KAR ). Kiai Juga suka memberikan pertolongan kepada masyarakat yang sedang bermasalah. Mulai dari orang yang punya hajat sampai utang piutang. Sebagai proses peyucian batin, meamasuki dunia tarekat merupakan suatu yang sangat penting. Makanya tidak salah kalau orang memasuki ajaran tarekat sejak dini. Ajaran tarekat bukan monopoli orangtua. Bahkan anak muda yang bisa memasuki tarekat justru suatu kebaikan. Untuk memasuki dunia tarekat, tetunya ada beberapa persyaratan yag harus dipenuhi, pertama harus mandi taubat, kemudain dilanjutkan dengan sholat taubat sebanyak dua rokaat. Kemudian pembaiatan yang dilakukan oleh mursyid dan murid dengan diberikan pakaian serba putih dan sorban putih sebagai lambang kesucian. Setelah proses pembaiatan diharuskan membaca wirid la ilaha illa llah sebayak 400 kali setiap selesai sholat rawatib. Pada pagi harinya harus menjalankan puasa putih minmal 3 hari dan maksimal sebanyak 21 hari. Dzikir dalam tarekat bermacam-macam sesuia dengan tingkatan penganut taekat. Tarekat syattariyah mengenal dzikir tahlil dan dzikir isbat nabi, masing-masing ada caranya. Yang jelas semua dzikir dan wirid harus melalui bimbingan mursyid (guru) dan dapat dilakukan jika sudah ada perkenan darinya. Pada hakikatnya, manusia mempunyai dua sikap dan tindakan yag berlawanan, kutub kebaikan dan kejelekan. Tarekat sebagai jalan untuk memperoleh keridloan Allah, pada dasarnya mengenal tiga hal penting, yaitu takholli, menjauhkan diri dari segala tindakan kejelekan. Tahalli, berhias diri dengan tidakan yang baik. Dan tajalli, berhias diri dengan cahaya Tuhan. Ketiga hal ini dapat diperoleh jika seorang sudah memasuki dunia tarekat dengan berbagai ritualnya. Takholli berhubungan dengan pengarahan nafsu amarah dan lawwamah untuk dapat diarahkan menjadi nafsu muthmainnah dan radhiyyah. Perwujudan dari nafsu muthmainnah dan radhiyyah adalah adanya berbagai tindakan, seperti ikhlas, jujur, adil, khauf, shabar, tawakkal, qana’an, ikhtiar, dan mahabbah serta taqwa. Kiai Syihabudin sebagai mursyid tarekat syattariyah di desa Kuanyar, pada suatu ketika mejelaskan, bahwa ikhlas adalah suatu hal yag sangat sulit sebab menyangkut perasaan manusia. Orang ikhlas diibaratkan memberi suatu melalui tangan kanan tetapi tangan kirinya tidak mengetahui. Orang yag belum rela memberikan suatu kepada orang lain disebabkan karena belum tertanamnya perasaan ikhlas di dalam hati. Jujur adalah berkata apa adanya, tanpa menambah atau mengurangi sedikitpun. Adil yaitu memberikan sesuatu dengan kadar atau usaha yang dilakukan. Sabar adalah orang yang mengalah karena mengetahui ada kebaikan dengan perbuatan mengalah tersebut. Kahuf adalah selalu merasa takut untuk berbuat jelek karena tindakan itu selalu diawasi oleh Allah. Ikhtiar dan tawakkal yaitu manusia harus berusaha tidak boleh berpangku tangan. Allah akan memberi sesuatu dengan perantara. Syukur yaitu kalau usaha yang kita lakukan berhasil maka kita harus mengingat bahwa Allah-lah yang menentukan. Keberhasilan bukan semata-mata datag dari kita tetapi atas intervensi atau campur tangan Allah. Qana’ah yaitu sederhana dan tidak berlebihan dalam melakukan segala sesuatu. Mahabbah yaitu mencintai Allah melebihi cintanya terhadap yang lain. Menurut orang tarekat bahwa Allah mempunyai sifat, af’al, dan dzat yang berbeda dengan makhluknya. Ketiga hal itu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Ketidak terpisahan sifat, af’al, dan dzat Allah itulah yang disebut dengan tauhid. Bagi penganut tarekat yang sudah melakukan dzikir secara terstruktur maka akan merasakan kehadiran sifat dan af’al Allah meskipun tidak merasakan kehadiran dzat Allah. Penganut tarekat meyakini terhadap adanya makhluk halus. Salah satunya adalah malaikat. Malaikat adalah hamba Allah yang memiliki ketaatan paling tinggi dan tidak pernah membatahnya. Jin dan setan juga makhluk yang diciptakan dari api murni, akan tetapi memiliki tabiat yang berbeda degan malaikat. Makhluk halus lain yang didipercayai oleh pengaut tarekat adalah setan gundul yitu makhluk yang dapat membatu manusia untuk mencuri harta kekayaan orang lain. Gendruwo yaitu makhluk ghaib yang tercipta dari pecahan setan yang dilempar oleh para malaikat ketika mau megintip lauh al mahfuudz. Cenunuk ialah sebangsa memedi yang menakut-nakuti manusia, biasanya ada sesudah ada orang yang meninggal. Dimensi waktu, ada alam arwah,yaitu alam janji dimana manusia secara azali akan melaksanakan segala perintah Allah. Alam dunya,. Alam kubur, dan alam akhirat. Penganut tarekat adalah kaum santri sehingga amalan sebagai wong santri juga dapat dilihat di dalam praktik kehidupannya. Sesungguhnya, amalan keagamaan kaum tarekat tidaklah jauh berbeda dengan amalan keagamaan kaum santri lainnya, terutama yag tergolong sebagai waong NU. Kesamaan tersebut misalnya dapat dilihat dari amalan shalat, zakat, puasa, dan haji. Yang membedakan adalah intensitas dalam pengamalan keagamaannya. Wong NU juga membaca dzikir dalam jumlah yang relatif banyak, akan tetapi dzikir yang terstruktur dan sistematis hanya dilakukan oleh kalangan penganut tarekat. Dzikir dikalangan santri NU bukanlah kewajiban, maka dikalangan penganut tarekat membaca dzikir adalah kewajiban. Membaca dzikir,dalam jumlah yang banyak tergantung maqamnya. Ada yang baru 400 kali, ada yang sampai 10.000 kali. Banyak sedikitnya tergantung lamanya menjadi peganut tarekat. Bacaan dzikir biasanya dilakukan setelah sholat rawatib. Jika udzur membaca dzikir maka bisa digantikan pada waktu lain. Untuk meghitung jumlah wirid yang dibaca, biasanya digunakan tasbih untuk meberikan kemudahan. Kegiatan yang paling penting dalam tarekat adalah baiat, sebagai pintu masuk tarekat. Sebelum baiat maka diwajibkan puasa mutih selama 3 hari atau 21 hari. Tidak ada bedanya dengan puasa wajib dan sunnah lainya, hanya jenis makanan yang cukup dengan nasi dan air putih saja, tidak ikan atau jenis makanan lainnya. Selama berpuasa dianjurkan membaca wirid sebanyak-banyaknya. Sebagai proses latihan masuk dunia tarekat, puasa merupakan proses pendadaran awal aga seseorang dapat mencegah hawa nafsunya, dan yang pertama adalah mencegah nafsu makan dan dimaksudkan untuk membersihkan diri dari nafsu sehingga ketika sudah dibaiat akan dapat mencegah hawa nafsuya sendiri untuk masuk dunia putihan dunia kaum tarekat. Puasa mutih juga dilakukan setelah baiat selama 40 hari. Puasa setelah baiat hanya anjuran saja. Tetapi kebanyaka penganut tarekat akan melakukannya. Seperti yang dituturkan oleh Pak Surahman; “Pak Surahman makan bersama saya di rumahnya pada suatu siang sambil dia berserita bahwa semenjak puasa mutih 40 hari setelah baiat, dia tidak lagi menyukai makan ikan. Semua ikan, baik ikan laut atau ikan sembelihan (kambing, ayam, da sapi) sebab baunya terasa amis dan membuatnya mau muntah, ia hanya makan tahu dan tempe saja semenjak itu” Tentunya tidak semuanya seperti Pak Surhman, kiai Syihabudin misalnya, tetap makan ikan seperti biasa. Dalam satu kesempatan beliau bercerita ; “sehabis tawajuhan, oleh pa kiai saya tidak dierbolehkan lagsug pulag. Ternyata oleh Bu Nyai sudah disiapkan makanan untuk dimakan bersama Pak Kiai. Ada nasi yang ditempatkan di bakul, ada sayur lodeh nangka, ada ika laut, dan juga ada dadar telur. Oleh Pak Kiai, saya diambilkan nasi banyak sekali satu piring penuh. Demikian beliau juga mengammbil nasi lau dituangi dengan sayur tersebut. Saya mengambil ikan dan dadar telur dan belai pun megambil lauk pauk yang sama dengan saya” Bagi yang puasa mutih 40 hari tidak dipersyaratkan memakai telasan (terjaga dari tidur semalam suntuk) akan tetapi dianjurkan untuk membaca dzikir tahlil sebanyak-banyaknya dengan harapa agar terbakar segala nafsu jelek yang bersemayam di dalam diri. Juga memperbanyak sholat tahajud dari 2 rokaat sampai 8 rokaat, setiap dua rokaat salam dan sholat witir dengan bilangan ganjil. Upacara baiat adalah sayarat utama bagi seorang untuk memasuki dunia tarekat. Baiat adalah upacara insiasi yang menandai perlaihan dari seorang muslm biasa ke seorang muslim anggota tarekat. Peralihan sistem kehidupan keagamaan dari dunia syatiat saja ke arah dunia syariat dan hakikat. Dalam kehidupan sehari-hari penganut tarekat memiliki kesamaan dengan penganut agama lainnya, khususya pemeluk Islam terutama Islam yang beraliran Ahlus sunnah wal jamaah atau NU. Jika ada perbedaan maka sesungguhya perbedaan itu terletak pada corak kehidupan batin. Penganut tarekat sangat mementingkan kehidupan batin (esoteris) sedangkan penganut Islam lainnya lebih memetingkan aspek lahir ( eksoteris). Diantara cirinya yang membedakan penganut tarekat dan bukan penganut adalah tindak untuk melakukan wirid atau dzikir secara terstruktur dan sistematis. Pengant tarekat berprinsip bahwa semakin banyak membaca dzikir semakin banyak kemungkinan untuk meperoleh rahmat dan petunjuk Tuhan yang berupa kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Selain dzikir, penganut tarekat memiliki ketaatan yang sangat tinggi dalam melakukan shalat wajib dengan berjamaah. Hal ini terlihat dari keaktifan anggota tarekat untuk melakukan shalat jamaah baik di masjid kauman maupun mushala-mushala. “Pak Surahman adalah penganut tarekat yang juga berkerja sampingan sebagai pedagang padi. Jika dia nebas padi di sekitar Kuanyar maka pada saat shalat Dzuhur pasi pulang ke rumah. Dalam beberapa kali pertemuannta dengan saya, ternyata kalau pulang pukul 11.30 maka yang dikerjakan di rumah adalah melakukan shalat dzuhur” Shalat rawatib memang bisa dilakuka secara berjamaah di masjid, mushalla maupun di rumah. Dalam kasus Pak Sueb, meskipu dalam keadaan batuk yang cukup berat maka shalat berjamaah di masjid tidak pernah absen. Ia berheti shalat berjamaah di masjid kalau memang secara fisik sudah tidak memugkinkan. Tradisi melakukan shalat sunnah juga sangat tinggi. Kebiasaan melakukan shalat malam, misalnya juga diketahui pada diri Pak Surahman, Pak Hanafi dan lainnya. Mereka rata-rata terbiasa bangun pukul 3.00 WIB mejelang pagi. Jika itu sudah biasa dilakukan maka ada perasaan tidak enak jika tidak melakukan shalat malam. Biasanya setelah shalat malam dilanjutkan dengan dzikir menunggu datangnta shalat shubuh. Yang sudah tua dan tidak bekerja-biasanya ikut anaknya- maka rutinitas shalat duha dan isyaraq dapat dlakukan. Seperti Pak Kasmui, dia aktif melaksanakan kedua shalat tersebut. Tradisi melaksanakan puasa sunnah juga sangat mengedapankan. Tidak ada perbedaan antara yang tua dan yang muda dalam hal melaksanakan puasa sunnah. Hanya intasitas dan frekwensinya yang berbeda. Bagi yang muda tergantung pada kondisi eksternal yang meligkupinya. Begitu juga dalam hal tawajjuhan, tampaknya bukan ritual yag harus dilaksanakan dengan tingkat rtinitas yang sangat tinggi. Bagi mereka usia yang masih muda dan banyak kegiatan yang melibatkannya di dalam hubungan dengan keluarga, tetangga, dan masyarakat maka acara tawajjuhan dapat saja ditinggalkan. Namun bagi yang usia sudah tua dan tidak lagi terlibat dalam kegaiatan keluarga, tetangga atau masyarakat maka mendatangi tawajjuhan hampir-hampir menjadi kewajiban. Tapi pilihan tindakan yang dilakukan oleh penganut tarekat ketika harus memilih dua antara kegiatan yang sama-sama berat maka pilihan akan dijatuhkan dengan menggunakan tindakan rasional bertujuan. Ketika harus memilih melakukan tawajjuhan atau sambatan dalam suatu momentum yang sama maka pilihan akan dilakukan dengan menggunkan pertimbangan manakah dua kegiatan tersebut yag bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat dan mana yang bersentuhan dengan kebutuhan diri sediri. Samabatan adalah kegiatan yag melibatkan masyarakat dan hanya dilakukan dalam waktu tertentu. Kegiatan tawajjuhan betujuan untuk kepentingan diri sendiri, dan dapat dilakukan dalam waktu terus menerus, sehingga jika suatu saat ditinggalkan maka kegiatan tersebut masih dapat dilakukan pada kesempatan lain. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan fisik, seperti makan dan minum, penganut tarekat juga tidak menunjukan perbedaan yang sangat mencolok dengan sesama yang lainnya. Aktivitas makan minum, jenis makanan dan minuman serta tempat makan dan minum tidak jauh berbeda dengan individu lainnya. Mereka juga membutuhkan terhadap reproduksi untuk melanjutkan generasi keturunannya, dan hal tersebut dapat diamati dari keinginan untuk kawain lagi yang dikarenakan istri pertamanya tidak mempunyai anak. Seperti pada kasus Pak Kiai Syihabudin. Memang tampaknya dari kasus ini bersifat khusus, tetapi mengandung makna bahwa keinginan mereka untk melanjutkan generasi dari garis keturunannya mejadi bagian penting dalam kehidupan. Hal ini merupakan pola umum dari setiap individu dalam kehidupan. Pola berpakaian tampak amat sederhana, bhkan cendrung kepada pengertian yang penting aurat tertutupi. Gejala demikian tampak ketika mereka berpakaian dalam forum resmi, misalnya pengajian umum, tawajjuhan, tahlilan, dan forum forum tidak resmi seperti di rumah, menerima tamu, ke pasar, ke tempat berdagang dan lain sebagainya. Fenomena ini adalah sebuah cerminan mengenai sikap dan tindakan penganut tareat dalam memandang terhadap makna pakaian dalam kehidupan. Terlepas dari faktor ekonomi yang membelit mereka, tetapi yang jelas bahwa mereka memang tidak meyukai terhadap hal-hal yang menjadikan riya’(menyombongkan diri). Waktu istirahat bagi mereka huga relatif sedikit, apalagi kalau musim bekerja di sawah, menanam atau panen. Mereka jarang tidur siang, walaupun malamnya mengikuti pengajian sampai larut malam. Rata-rata merek tidur empat sampai enam jam. Tapi meskipun demikian, mereka tidak mengurang aktivitas lainya yang terkait dengan ehidupan sosial masyarakatnya, bahkan memenuhi kebutuhan keluarganya. Mereka tetap bekerja untuk kelurganya, kecuali mereka yang emang sudah tidak mampu lagi bekerja karea faktor usia atau sakit. Mereka bekerja di sektor pertanian dengan tanah yang relatif sempit, sehingga mengharuskan mereka untuk bekerja di sektor lain. Seperti perdagangan. Didalam buku ini juga diceritakan kehidupan penganut tarekat yang sudah tidak mampu bekerja, karena faktor usia maupun fakor kesehatan. Atau memang mereka tidak punya pekerjaan (pengangguran). Mereka sangat yakin bahwa manusia tidak mempunyai kekuatan untuk menolak apa yang telah ditakdirka oleh Allah SWT kepda hambanya, termasuk untuk menolak penyakit. Penyakit yang diderita tidak membuat mereka kurang bersyukur kepada Allah. Kehidupan para penganut tarekat adalah kehidupan yang unik, keunikan itu dapat dilihat dari fenomena kehidupan kaum tarekat yang mempunyai ciri khas, yaitu pengamalan agama yang bercorak esoterik. Mereka tidak mengamalkan agama dalam dimensi eksoterik, formal, kaku, dan penuh dengan tafsir teks yang literal, namun mereka mengamalkan ajaran agamanya dengan corak esoterik, mendalam, tidak kaku, dan penh dengan tafsir yag bercorak kepribumian. Mereka beragama dengan rasa bukan denga pikiran. Mereka beragama melalui olah roso. Jadi yang diasah dalam kehidupan beragama adalah mengendepankan “rasa” yang tentunya mengejewantahkan dalam kehidupan dalam hubungannya dengan dunia sekelilingnya.

KEUNGGULAN ISI BUKU : Dalam buku ini, Penulis mampu dan sangat telaten dalam menggambarkan kehidupan para kaum penganut tarekat Syattariyah di Desa Kuanyar dari berbagai latarbelakang pengautnya dan berbagai kegiatan yang sudah menjadi rutinitas mereka. Begitu juga dapat digambar secara gamblang bagaimana para penganut tarekat ini berinterkasi dengan kehidupan sekelilingnya, baik dari dari kalangan sendiri maupun dengan kalangan luar. Wallahu A’lam.


Repost from annubala2010.blogspot.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar